Apakah Pernikahan Difabel Diperbolehkan?

Luluk Mukarromah
Ilustrasi pernikahan defabel

Wartacakrawala.com – Pernikahan merupakan upacara yang mengikat perjanjian antara dua orang atau sepasang wanita dan pria dengan maksud meresmikan pernikahan baik secara hukum, agama, dan sosial. Namun, Tidak dapat dipungkiri pernikahan berbeda ras, suku, dan budaya, kerap terjadi di masyarakat umum, begitupun dengan pernikahan defable.

Apa itu Difable ?

Difabel merupakan istilah lain ditujukan untuk individu yang berkebutuhan khusus. Difabel kepanjangan dari “diffently abled” (perbedaan kemampuan) adalah istilah baru yang menggantikan penyandang cacat, agar asumsi masyarakat tidak memberikan makna negatif. Sebernernya dalam keterbatasan ini memiliki kemampuan, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain.

(WHO-World Health Organization) mengartikan difabel yaitu suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik itu yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Tentang Penyandang Disabilitas No 8 Tahun 2016, menjelaskan jenis-jenis ragamnya difabel yang terdapat dalam BAB II Pasal 4 Poin 1 meliputi beberapa jenis:

1. Penyandang disabilitas fisik (cacat fisik)

Penyandang Disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy(CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.

2. Penyandang disabilitas intelektual.

Penyandang Disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom

3. Penyandang disabilitas mental

Penyandang Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:

a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan

b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranyaautis dan hiperaktif.

4. Penyandang disabilitas sensorik
Penyandang Disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Baca juga:Hipnoterapi sebagai Jalan Pengembangan Potensi Diri

Penyandangmana dengan Pernikahan Difabel ?

Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan dalam pasal 1 ayat 1: “Penyandang Disabilitas atau difabel adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan utnuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dalam wacana fikih tidak ada istilah kata yang mengartikan difabel mental, hanya ada kata safih dan uthi, kata ini yang paling mendekati pengertiannya yaitu “menganggap bodoh atau memperbodoh.”

Imam Syafi’i mendefinisikan safih yang dikutip oleh Syeikh Abu Yahya dalam bab Al-Hijr bahwa safih adalah orang yang lemah (baik anak-anak maupun dewasa) yang (dapat) tertipu, dan orang yang tidak kuasa untuk fokus karena kemaghluban (kekurangan) akalnya.

Kaitannya dengan suatu ikatan perkawinan, difabel mental bisa saja datang setelah adanya sebuah ikatan perkawinan yang sah. Pastinya memiliki kendala-kendala tersendiri dalam memenuhi hak dan kewajiban.

Tidak semua individu dilahirkan dalam keadaan normal. Beberapa diantaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis yang telah dialami sejak awal masa perkembangan.

Oleh sebab itu dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kaitannya dengan pernikahan yang dilakukan oleh penderita cacat mental, dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sendiri tidak dijumpai pembahasan spesifik tentang pernikahan penderita cacat mental. Sehingga dapat dikatakan tidak ada masalah yang berkaitan dengan pernikahan tersebut, dan dapat disamakan dengan pernikahan orang-orang biasa, maka dapat disimpulkan boleh atas izin walinya. (*)

*)Penulis: Afiatuzzahro, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com

*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Mahasiswa KKN UIN Walisongo Adakan Ngobrol Pintar Kesehatan Reproduksi

Next Post

TOSM (Test Of Second Mathematics) untuk Mengatasi Fenomena Gagap Hitung

Related Posts
Total
0
Share