Wartacakrawala.com – Pengumuman Qatar dipilih menjadi penyelenggara Piala Dunia Sepak Bola 2022 pada saat Komite Eksekutif FIFA melakukan pertemuan di Zurich pada 2 Desember 2010 menjadi awal polemik yang fenomenal oleh masyarakat dunia. Mengapa tidak ? berbagai macam kritikan dan tekanan baik yang bersifat politik maupun diplomatik muncul hingga menjumpai akhir pertandingan final.
Pergelaran turnamen sepak bola yang diadakan empat tahun sekali ini merupakan turnamen paling bergengsi serta banyaknya khalayak dari seluruh penjuru dunia yang menggemari pergelaran ini. Tidak heran jika negara-negara yang terkait dan mempunyai kepentingan di Piala Dunia 2022 ini kebanyakan ingin melakukan politisasi. Misalnya saja Ukraina, Presiden Blenzesky ingin menyampaikan pesan perdamaian terkait invasi Rusia namun ditolak oleh FIFA.
Selain itu, datang dari tuan rumahnya sendiri yakni Qatar yang melakukan diplomasi Islam dalam pergelarannya. Termasuk peraturan terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang kemudian mendapat respons dari sejumlah negara di Eropa dengan melakukan tekanan-tekanan diplomatik terhadap negara penyelenggara tersebut.
Qatar merupakan negara yang melarang segala bentuk praktik yang berbau LGBT di wilayahnya. Begitu juga dengan pergelaran Piala Dunia 2022 yang diadakan di teritorial mereka, kebijakan tersebut tetap dijalankan meskipun turnamen tersebut diikuti oleh negara-negara barat.
Baca juga: Globalisasi Politik Melalui Paradiplomasi
Kebijakan Qatar tersebut di dukung oleh FIFA dengan mengeluarkan pengumuman yakni bagi tim yang melakukan kampanye LGBT akan menerima kartu kuning. Keputusan tersebut tentunya sebagai penghormatan kepada negara penyelenggara atas otoritas negaranya.
Ada 7 tim nasional negara yang melakukan protes terhadap larangan tersebut. Negara- negara tersebut yakni Inggris, Belgia, Wales, Swiss, Belanda, Denmark dan Jerman. Mereka memberikan dukungan kepada kelompok LGBT lewat ban kapten bermotif “one love” dalam laga Piala Dunia 2022. Mereka menganggap Qatar telah melecehkan hak asasi para anggota kelompok LGBT.
Jika dilihat larangan tersebut bukanlah sebuah pelanggaran yang merenggut kebebasan seseorang ataupun kelompok. Qatar merupakan negara bermayoritas muslim yang hukum dan budayanya disesuaikan dengan hadis dan Al-Qur’an. Larangan tersebut merupakan sebuah otoritas negara yang sudah seharusnya dihormati siapa pun yang datang ke negara tersebut.
Abdullah Al Nasari, Kepala Keamanan Piala Dunia 2022 menegaskan jika siapa pun yang ingin memberikan pandangannya mengenai LGBT, berikanlah dalam masyarakat yang dapat menerima hal itu. Jangan datang lalu menghina negara dan masyarakat Qatar.
Kebijakan Qatar tersebut sebenarnya merupakan bagian dari Affirmative Action terhadap kelompok LGBT. Affirmative Action atau Diskriminasi Positif merupakan sebuah kebijakan yang diskriminatif namun bersifat positif karena dilakukannya hanya sementara demi memberikan kesempatan terhadap kelompok tertentu dalam meraih peluang yang sama seperti kelompok masyarakatlainnya.