Kekuatan Kepemimpinan Perempuan

Avatar
Imayati Kalean, Sekretaris Umum Kohati PB HMI
Imayati Kalean, Sekretaris Umum Kohati PB HMI

Wartacakrawala.com – Dominasi laki-laki sebagai pemimpin masih begitu kuat. Kepemimpinan perempuan masih sangat jauh secara presentasi, baik sebagai pimpinan negara, lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan lainnya. Dilansir dari laman Kata Data, jumlah negara dengan pemimpin perempuan per Maret 2020 sejumlah 22 negara. Lebih dari setengahnya diisi oleh negara-negara di Eropa. Selain itu mulai banyak wakil kepala negara adalah perempuan, juga menteri dan posisi strategis di tingkat negara lainnya yang diisi oleh perempuan. Dan sejak tahun 2019, Komisi Uni Eropa dipimpin oleh presiden perempuan yakni Ursula von der Leyen, Menteri Pertahanan Jerman. Juga fakta menarik bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) dipimpin oleh perempuan, Christine Lagarde.

Kepemimpinan perempuan di Eropa memang sedang berkembang pesat, bukan hanya secara jumlah namun kapasitasnya yang juga diakui sehingga kepercayaan terhadap pemimpin perempuan semakin meningkat. Hal ini memberikan pandangan yang optimis bahwa akan muncul semakin banyak pemimpin perempuan, bukan hanya di Eropa tetapi juga belahan dunia lain seperti Asia, Afrika dan lainnya.

Indonesia sendiri pernah dipimpin oleh perempuan yaitu Megawati Soekarnoputri, dan setelah itu belum pernah ada lagi. Selain itu, dalam kabinet pemerintahan Jokowi, dari tiga puluh empat (34) Menteri terdapat 6 menteri perempuan dan masih bertahan hingga saat ini. Kementerian yang dipimpinan merupakan kementerian yang strategis dan membutuhkan kemampuan dan pengalaman tinggi, serta menjadi kunci pembangunan nasional.

GAYA KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN PENGARUHNYA
Kepemimpinan adalah suatu rangkaian bagaimana mendistribusikan pengaturan dan situasi pada suatu waktu tertentu. Setiap kepemimpinan selalu menggunakan power atau kekuatan, baik kekuatan pribadi dari pemimpin juga bagaimana menggunanakan wewenang yang ada untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Dengan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi pemimpin. Dibutuhkan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan kepemimpinan yang matang agar seseorang benar-benar mampu menjalankan peran kepemimpinan.

Baca juga: BBM “Tidak” Atau “Belum” Naik

Kemudian, jika dilihat secara jenis kelamin, kepemimpinan perempuan memiliki gayanya tersendiri yang membedakannya dengan gaya kepemimpinan laki-laki, dan ini cukup berpengaruh pada hasil dan kualitas kinerja yang dicapai oleh pemimpin perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki memiliki norma perilaku yang cukup berbeda dalam menjalankan peran kepemimpinannya.

Ada kaitan kuat antara gender dan gaya kepemimpinan. Porter (2004) mengaitkan gender dan gaya kepemimpianan dengan dua aspek kepemimpinan yaitu, dalam hal pengambilan keputusan berorientasi pada pemimpin yang demokratik atau otokratik dan dalam mempengaruhi bawahan, atasan dan rekan kerja dengan strategi kominakasi. Selanjutnya, hasil studi menyimpulkan adanya perbedaan jenis kelamin dalam gaya kepemimpinan yakni, laki-laki cenderung mempunyai model kepemimpinan maskulin sedangkan perempuan cenderung kepemimpinan feminim. Gaya kepemimpinan perempuan lebih demokratik dibanding laki-laki dalam lingkungan organisasi yang sama. Perbedaan ini dilatari oleh perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal kepribadian dan keterampilan kerjanya. Perempuan cenderung lebih sabar, memiliki empati, dan multitasking. Perempuan juga memiliki bakat alami untuk menjalin networking dan melakukan negosiasi.

Dewasa ini sangatlah dibutuhkan etika feminim, sebagai penyeimbang bagi dominasi etika maskulin. Feminisme sudah banyak memaparkan peran moralitas feminim sesungguhnya bersumer pada pengalaman konkrit yang dialami perempuan. Pengalaman konkrit tersebut adalah pengalaman sebagai ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Pengalaman-pengalaman inilah yang diangkat untuk menjadi etika feminisme untuk mengimbangan etika masukulin. Etika feminine yang dimaksud dapat dipahami melalui penjelasan Nugroho Dkk (2017), yaitu:

Maternal Thinking: Maternal Thinking bukanlah berhubungan dengan eksitensi sesorang untuk menjadi ibu, namun lebih kepada cara berpikir. Pada dasarnya memiliki siafat kelemahlembutan. Kemampuan bertindak tanpa kekerasan sesungguhnya merupakan penagalaman maternal, yang secara khusus hanya dimiliki oleh ibu, sehingga ibu sesungguhnya dapat menjadi sumber bagi adanya politik perdamaian. Jadi pengalaman maternal bukan hanya berhubungan dengan masalah anak-anak, namun juga tentang dunia. Cara berpikir maternal sesungguhnya menawarkan cara untuk membangun politik perdamaian. Karena nilai-nilai yang dikemabngakan seperti perhatian dan cinta kasih dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah nasional bahkan internasional, terutama perang, terorisme, dan aksi fundamentalisme.

Carring: Pemikir etika feminisme adalah Noddings. Ia memperkenalkan etika feminisme kepedulian (carring). Caring merupakan sebuah pendekatan yang berakar dari sifat receptive, relatedness, dan responsiviness. Prinsip tersebut berhubungan dengan prinsip ibu dengan kedekatan dan penerimaan seutuhnya terhadap anak. Kepedulian bisa diasosiasikan dengan aspek feminim.

Ethich of Care: Tolak ukut perkembangan moral laki-laki dan perempuan pada dasarnya berbeda. Perbedaan tersebut antara lain; landasan moralitas perempuan didasarkan pada prinsip penyatuan yaitu keberadaan relasi dengan orang lain. Hal ini tentu tidak terlepas dari pengalaman sebagai ibu. Laki-laki menekankan prinsip pemisahan yang artinya laki-laki akan berusaha menjaga jarak dengan lingkungannya. Laki-laki lebih otonom, menekankan kebebasan, dan kemerdekaan. Laki-laki lebih menekankan keadilan, memperlakukan orang lain secara objektif dan terbuka. Sedangkan perempuan lembih menekankan pada kepedulian dan perempuan akan lebih bersifat peduli terhadap penderitaan orang lain.

Ketiga etika feminisme ini berkaitan erat dengan tindakan. Tindakan yang menjadi etika feminisme adalah berkaitan dengan cinta (love) dan memaafkan (forgivenes). Dua etika ini bertujuan untuk menjaga relasi hubungan antara manusia. Bukan hanya dalam ruang privat, namun juga dalam ruang publik yang plural dengan berbagai dinamika. Dengan demikian, konsep kepemimpinan perempuan mengarah pada kepemimpinan untuk mewujudkan relasi yang baik. Ini menjadi harapan akan perdamaain ketika terjadi konflik atau penyelesain suatu masalah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Presiden Joko Widodo didampingi Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo (kiri) mengisi daya mobil listrik saat peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging di Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat, 25 Maret 2022 / Antara / Fikri Yusuf

Inpres, Kendaraan Dinas Pemerintahan Pusat Daerah Wajib Mobil Listrik

Next Post
Pemasangan Box Culvert Karangpoh / dok. Pemkot Surabaya

Ini Dia Strategi Pemkot Surabaya Atasi Banjir di Kawasan Karangpoh

Related Posts