Melihat Jakarta Dari Kacamata Futuristik

Shofy Maulidya Fatihah
Ahmad Faruuq - Koordinator Pusat BEM Nusantara
Ahmad Faruuq – Koordinator Pusat BEM Nusantara

Wartacakrawala.com – Jakarta sebagai metropolis menunjukan dinamika perkembangan pembangunan yang  pesat. Dinamika tersebut disebabkan oleh daya kualitas dan kuantitas kota Jakarta, wilayah teritorial, dan peran di kancah nasional maupun global. Jakarta sebagai sentral telah mengakibatkan perekonomi di bidang sosial budaya, sosial ekonomi dengan pengaruhnya pada daerah lain.  Sekaligus kota Jakarta menyedot masyarakat untuk melakukan urbanisasi, menjadi kota sebagai tempat mengadu kehidupan.

Melihat Ibukota di masa mendatang seperti melihat kaca prismatik, yang memantulkan berbagai kemungkinan.  Apa yang akan terjadi di masa mendatang, perlu dipersiapkan dan dipikirkan dari hari  ini. Ibukota punya beberapa sektor yang nampak harus jadi perencanaan jangka panjang. Ada beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian, direkonstruksi ulang kemudian dilakukan perubahan.

Faktor pertama tentang demografi. Jumlah penduduk DKI Jakarta dikutip dari laman jakarta.go.id selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2020 jumlah penduduk Jakarta adalah 10.644.986. Laju pertumbuhan penduduk dengan tahun dasar 2010 adalah 0,83%. Kepadatan penduduk pada 2020 mencapai 16.072 jiwa per km2. Kota Administrasi Jakarta Barat menjadi wilayah berpenduduk terpadat di DKI Jakarta yaitu mencapai 21 juta jiwa/km2. Penduduk usia kerja pada Februari 2020 tercatat sebanyak 8.004,78 ribu jiwa di mana sebanyak 5.438,99 ribu jiwa masuk dalam angkatan kerja, sehingga tingkat partisipasi kerjanya sebesar 67,95 persen.

Baca juga: Dampak dari Poligami bagi Kesehatan Seorang Anak

Dengan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, bukan tidak mungkin masalah akan muncul dan mengakar. Masalah demografi ini berimplikasi pada ruang sebagai lahan untuk tempat tinggal. Banyaknya jumlah penduduk membuat lahan kosong semakin berkurang. Lahan kosong berganti dengan bangunan dan tanah-tanah gersang. Sehingga bukan hal aneh, jika banyak pakar yang memprediksi tahun 2030 Jakarta akan tenggelam! Salah satu pakar yang memprediksi yaitu Kepala Environmental Engineering, Universitas Airlangga, Dr. Eko Prasetyo Kuncoro, ST., DEA.

Prediksi adalah pembacaan terhadap masa mendatang. Masih ada waktu sekitar 30 tahun lagi untuk mempersiapkan kemungkinan itu batal terjadi.  Dilansir dari CNBC Indonesia Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida, pemerintah telah melakukan pencegahan terkait Jakarta tenggelam. Salah satunya dengan rencana proyek tanggul laut laut raksasa, hingga tanggul di pesisir pantai. Namun tentunya, pembangunan itu tidaklah cukup jika demografi di Jakarta belum terbendung.

Solusi dari faktor pertama adalah tata kelola kota, tata kelola penduduk, dan kebijakan untuk mengurangi pembangunan gedung, terutama real estate. Tata kelola kota yang baik dengan peletakan gedung-gedung sentral dalam satu kawasan. Gedung pendukung yang lain seperti sentra industri, sentra perekonomian, dan sentra tempat tinggal menjadi satu kawasan khusus yang dibedakan.

Baca juga: Lemahnya Sistem Hukum di Indonesia

Tata kelola penduduk ini berhubungan dengan lingkungan yang ramah tanpa polusi, dan lingkungan hijau. Jakarta mungkin bisa berkaca pada Zurich, di Swiss. Pemerintah di sana membiasakan para penduduknya berjalan kaki karena moda transportasi umum yang melimpah. Selain itu harga transportasi umum Zurich sangat terjangkau dengan durasi yang cepat. Pembangunan kereta cepat dari Jakarta ke Bandung, telah dimulai. Tapi, pola kebiasaan masyarakat untuk beralih dari kendaraan berpolusi menjadi jalan kaki, butuh contoh dan pembiasaan.

Gedung pencakar langit yang sudah dibangun untuk itu konsep green city akan cocok diterapkan. Di setiap puncak gedung pencakar, tumbuhan hijau menghiasi. Selain membuat pemandangan yang Indah, oksigen sehat akan terpenuhi. Jakarta saat ini masih menjadi pusat ibukota. Kota yang didatangi penduduk dengan urbanisasi, berharap mengubah nasib, lalu bermukim di Jakarta. Lalu, bagaimana Jakarta pasca tidak lagi menjadi ibu kota? Ini berhubungan dengan faktor kedua.

Faktor kedua, desentralisasi Jakarta. Desentralisasi merupakan inti dari sebuah demokrasi, selama tiga dekade terakhir demokrasi telah menjadi nilai fundamental dan kerangka kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerataan ekonomi dan pembangunan dan mematahkan pembangunan negara yang bersifat sentralistik atau terpusat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Departemen Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Malang melakukan kolaborasi dengan Yayasan “Naeema” Trenggalek

Departemen PLB UM Berkolaborasi Meningkatkan Branding Batik Shibori Kampung Inklusif Trenggalek

Next Post
LBH Permata Law eksekusi objek lahan sengketa

Menang di Pengadilan Negeri Jombang, LBH Permata Law Eksekusi Objek Sengketa

Related Posts