Wartacakrawala.com – Minat baca masyarakat Indonesia menurut Menurut data UNESCO pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat diatas Botswana, salah satu negara di Afrika yang berada di peringkat 61. Padahal, di lapangan mungkin tidak se-miris itu. Persoalan yang lebih kompleks selama ini adalah akses buku ke desa, yang saat mendapatkan akses buku banyak terjadi salah sasaran, atau salah proyeksi buku.
Saat melaksanakan pengabdian masyarakat tepatnya di desa Argotirto Sumbermanjing Wetan (Sumawe), timbullah sebuah kesadaran akan pentingnya minat baca. Kebetulan program yang diusung BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Unisma itu bertajuk “Eksekutif Muda Membangun Desa,” secara tagline sungguh sangat bersahaja. Namun, realita lapangan menjadi persoalan berbeda. Masyarakat di Indonesia yang saya simbolkan dari kondisi di Argotirto masih lebih membutuhkan hal yang praktis, langsung sekali jadi. Praktis bertendensi pada sesuatu yang konstan.
Misalnya, masyarakat akan lebih memilih bagaimana cara menanam lalu memanen padi secara cepat dan melimpah. Dibanding bagaimana proses juga upaya guna menghasilkan bibit unggul, yang harusnya bisa didapatkan dari hasil bacaan. Proses berliterasi, kalah saing dengan proses praktis sederhana yang langsung menghasilkan.
Baca juga: Gandeng Remaja Desa, Mahasiswa UIN Walisongo Pasang Spanduk PHBS
Buku mungkin akan jadi komoditi utama, saat masyarakat sudah sadar bahwa literasi juga berguna untuk membuat orang memecahkan masalah. Saya lalu berfikir, siapa yang salah dalam kondisi false perspektif masyarakat ini? Sebagai pelaksana kegiatan, BEM Unisma atau mahasiswa yang berasal dari desa Argotirto Lah yang salah. Seperti kata WS Rendra dalam sebuah puisinya “Apa gunanya pendidikan bila terpisah dari masalah sosial”.
Pojok literasi yang berdiri di desa Argotirto itu hanya semacam ke alibian, tidak lebih daripada pencarian eksistensi sekelebat. Lebih dari itu, masyarakat desa memberi respon positif tapi belum mampu menyentuh untuk meningkatkan minat baca. Bahkan anak-anak yang memegang buku, mungkin tidak dilirik jika tidak sambal membantu orang tuanya di sawah.
Saya tertarik, pada statement objektif seorang masyarakat di desa Argotirto yang secara pendidikan sudah cukup baik. Seorang perempuan lulusan S1 Unisma, ia seorang yang cukup terpandang di desa. “Kalau boleh jujur saja, pojok literasi ini paling hanya berjalan sebulan dua bulan, lebih dari itu masyarakat desa, anak anak, semua elemen yang ada di desa akan malas dengan sendirinya”.
Benar saja apa yang disampaikan seorang masyarakat itu. Karena, sekalipun ada bentuk apresiatif dari aparatur desa secara khusus atas pendirian pojok literasi. Masyarakat desa umumnya berpikir bahwa pendidikan dari luar (baca-tulis dan seterusnya) bukan supaya pintar dan kaya tapi sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah baru terkait dunia luar yang tak bisa diatasi lagi oleh mekanisme adat dan pengetahuan lokal.
Baca juga: Tingkatkan Moderasi Beragama, Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Webinar
Upaya Literasi, dan Keberlangsungan
Pojok literasi BEM Unisma Malang secara khusus menyasar anak anak rentan umur 6 sampai 12 tahun, anak dengan pendidikan dasar. Secara umum memang diperuntukkan kepada masyarakat secara luas. Namun, persoalan praksis mesti ditemukan jalan keluar sehingga muncul pengkhususan tersebut.
Karena kebutuhan akan literasi mesti ditanamkan sejak dini, dari awal belajar membaca dan menulis, setiap anak seharusnya juga dilatih untuk membaca masalah. Di sisi lain, kelancaran membaca harus disertai kemampuan memahami teks dan konteks. Jika itu terlaksana harapan meningkatkan minat baca, dan upaya melek literasi mungkin akan bisa dipertimbangkan masyarakat.
Untuk suplai buku ke desa, saya membayangkan begini. Seandainya mahasiswa yang pulang ke desa membawa minimal sepuluh judul yang kontekstual. Dimaksudkan sesuai pada kebutuhan masyarakat yang ada di desa, dengan mempertimbangkan hasil komoditi utama, latar belakang pendidikan, letak geografis, dan laju pertumbuhan penduduk.
Masyarakat lalu bisa membaca sesuai kebutuhan maka kebutuhan literasi akan memperbaiki dari hasil angka survei yang sudah banyak kali dilakukan dengan berdalih survei minat baca yang valid. Bayangan gila saya ini, akan memunculkan persebaran minat baca dan upgrade literasi jika bisa teraplikasi.
Baca juga: Mahasiswi UIN Walisongo Hadirkan Alternatif Pembelajaran di Tengah Pandemi
Sementara, secara subjektif kembali pelaksana program pengabdian desa, program pengabdian masyarakat ber-‘embel embel’ peningkatan literasi hanya berakhir pada ketidak kongruenan dengan kebutuhan masyarakat. Semenjak dimulai pengumpulan donasi, yang lebih dipentingkan justru kuantitas buku yang hendak disumbangkan, bukan kualitas. Ini jelas logical fallacy, sebab masyarakat desa lebih butuh buku yang sesuai dengan kebutuhannya dibanding segudang buku yang terlepas dari persoalan masyarakat.
Masyarakat desa, terutama anak kecil lebih butuh buku-buku anak meski tidak bergambar dan cukup menghibur. Dibanding buku karangan Tan Malaka, Soe Hok Gie, atau bahkan Cecirio. Namun, dari kesalahan program pengabdian dengan tujuan awal cukup futuristik, yaitu meningkatkan minat literasi masyarakat di desa Argotirto. Paling tidak pojok literasi yang dirintis BEM Unisma di desa Argotirto memiliki sustainable.
Solusi yang diusung melalui kerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Sumbermanjing Wetan (IMS) rasa – rasanya mempunyai ghiroh dan keyakinan pojok literasi itu akan terus berlangsung dan hidup menciptakan budaya literasi. Karena semangat untuk berliterasi merupakan semangat menghargai preambule bangsa Indonesia.
*)Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan BEM Universitas Islam Malang, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Bidang Kebudayaan PC IPNU Kabupaten Malang
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*)Redaksi berhak tidak menayangkan yang dikirim