Pada hari Rabu, 19 Februari 2025, saya menghadiri undangan pengukuhan guru besar, di Universitas Merdeka (Unmer) Malang, sahabat saya, Prof. Dr. H. Syaiful Arifin, SE., M.Si, yang dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu manajemen organisasi, pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Profesor Syaiful Arifin dikukuhkan bersama dua guru besar Unmer lainnya, yaitu: Prof. Pindo Tutuko, ST., MT., Ph.D., PgDip, dalam bidang ilmu perumahan dan pemukiman dan Prof. Dr. Ir. Laksni Sedyowati, MS, dalam bidang ilmu keairan, pada Fakultas Teknik di perguruan tinggi tersebut. Seperti biasanya, acara diisi dengan orasi ilmiah dari masing-masing guru besar yang dikukuhkan, serta beberapa sambutan dari pejabat terkait, dan tokoh nasional, yang diberikan kehormatan untuk memberikan pidato pada momen sakral tersebut.
Tokoh nasional, yang diberikan kehormatan untuk memberikan sambutan / pidato, pada acara pengukuhan guru besar tersebut, adalah Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, SH., SU., M.IP, yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), pada era Presiden Joko Widodo, Ketua Mahkamah Konstitusi, 2008-2013, Anggota Komisi III DPR-RI, 2004-2008, dan Menteri Pertahanan serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Republik Indonesia, pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Penulis menganggap pidato Profesor Mahfud MD dalam acara ini, sangat berbobot, sehingga menjadi sangat penting untuk ditulis, agar bermanfaat untuk kita semua, khususnya untuk insan akademis di dunia perguruan tinggi. Prof. Mahfud MD hadir pada momen ini, karena salah satu guru besar yang dikukuhkan, yaitu Profesor Syaiful Arifin, adalah keponakannya, yaitu anak dari kakak perempuan beliau, di Pamekasan-Madura, dan kebetulan, penulis sudah dua kali bertandang kesana.
Profesor Mahfud MD, pertama kali mengucapkan selamat kepada ketiga guru besar, yang baru saja dikukuhkan. Kemudian beliau mengatakan, bahwa menjadi seorang profesor adalah hasil dari sebuah kerja keras, dengan prestasi keilmuan yang terukur. Karena ada (menurut beliau), seorang profesor yang tidak melalui kerja keras, yaitu dengan cara membeli gelar tersebut, dan kampus tersebut juga ikut menikmati, serta ini fakta, yang tidak perlu ditutup-tutupi, kata mantan calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo tersebut. Prof. Mahfud MD mengutip, yang pernah disampaikan Prof. Dr. M. Sardjito, yang merupakan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) pertama (1949-1961), dosen Fakultas Kedokteran UGM, dan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) ketiga (1963-1970), dan kini namanya diabadikan menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) di Kota Yogyakarta, serta telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo, pada tanggal 8 Nopember 2019, bahwa, Profesor Sardjito mengatakan: “Jadilah sarjana yang sujana”, yaitu sarjana (ilmuwan / cendekiawan) yang bijaksana, budiman, luhur. Dalam stratifikasi atau hirarki yang normal dalam dunia pendidikan tinggi, yaitu: S1, S2, dan S3, kemudian guru besar (profesor). Tetapi kadangkala ada yang tidak melewati fase-fase ini, dengan cara-cara yang tidak patut, maka yang demikian bukan merupakan “sarjana sujana”. Seorang profesor atau guru besar adalah mahaguru yang tidak saja pandai secara intelektual / akademik, tetapi juga tinggi secara moral, mempunyai sikap, memperjuangkan kebenaran, dan lain sebagainya, tandas besan dari Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi, tersebut.
Profesor Mahfud MD, juga menambahkan, bahwa, seorang profesor harus bersikap profesional, dan tidak boleh memperjualbelikan kebenaran dengan kebatilan. Beliau mengutip potongan ayat Al-Qur’an, surat Al-Baqarah: 41, yang artinya: “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga murah, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku”. Dalam hal ini, seorang profesor juga akademisi secara umum, wajib mengabdi kepada ilmu, harus jujur, bisa khilaf (salah) tetapi tidak boleh bohong, karena salah adalah sifat alamiah manusia sedangkan bohong mengandung unsur kesengajaan, yang bisa mencederai integritas akademiknya. Seseorang yang mendapatkan jabatan, dan setelah itu naik jabatan dengan cara yang tidak jujur atau tidak patut, adalah “sarjana yang tidak sujana”, jika mengutip Prof. Sardjito diatas. Perguruan tinggi wajib memberikan kebebasan akademik kepada akademisinya, yaitu bebas menggali kebenaran dan mengemukakannya. Prof. Mahfud MD mengatakan agar kita tidak menjadi intelektual tukang, yaitu intelektual yang dengan ilmunya bisa dipesan atau diorder, untuk kepentingan pihak tertentu.
Profesor Mahfud MD mencontohkan soal Tragedi Lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo. Dimana awal mula pengeboran sumber minyak di Porong-Sidoarjo, oleh PT. Lapindo Brantas tersebut, sudah melalui studi kelayakan (feasibility study), oleh seorang ahli (ilmuwan, intelektual, cendekiawan), dan dinyatakan bahwa pengeboran itu, layak dan aman untuk dilakukan. Namun, setelah dilakukan pengeboran, ternyata pada tanggal 29 Mei 2006, lokasi sumur minyak itu, justru mengeluarkan semburan lumpur panas, hingga saat ini. Terlepas ini adalah sebuah bencana, diduga kuat, ada human error atau kelalaian dalam mekanisme pengeboran. Ada dugaan pula, ketika dilakukan studi kelayakan, ada proses transaksi, antara pemilik kepentingan dengan seorang ahli (perminyakan / geologi) diatas, untuk lolosnya sebuah persyaratan, agar mendapatkan izin (legitimasi), untuk melakukan pengeboran itu. Ternyata pasca itu, terjadi malapetaka yang begitu dahsyat. Artinya ada ketidakjujuran dari seorang ahli diatas, untuk kepentingan sebuah materi, dapat berakibat fatal. Mereka yang harusnya berkata jujur, tetapi karena bisa dibeli (disuap), maka dia jadi berbohong, dan akhirnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Seorang ilmuwan / intelektual / cendekiawan, apalagi seorang profesor atau guru besar, harus menjunjung nilai kejujuran, berintegritas, serta tidak boleh menjadi intelektual tukang, seperti penjelasan diatas. Intelektual sejati tidak bisa dibeli, dipesan atau diorder, untuk sebuah kepentingan pihak tertentu. Prof. Mahfud juga menyampaikan, bahwa kita harus menjadi seorang yang rendah hati, tetapi tidak rendah diri. Rendah hati artinya tidak boleh sombong / tinggi hati, serta menganggap rendah / remeh orang lain. Sedangkan rendah diri artinya penakut (minder) dan menganggap orang lain selalu lebih dari dirinya. Sifat keberanian (syaja’ah), sangatlah penting dimiliki, oleh seorang profesor dalam mempertahankan kebenaran dan kejujurannya. Seorang intelektual, apalagi seorang profesor yang merupakan jabatan akademik tertinggi, harus memiliki dan menjaga nilai integritas akademik, yaitu: kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, tanggung jawab dan keberanian.
Ada seorang profesor yang sukanya “flexing”, yaitu suka memamerkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang lain, dan cenderung berperilaku hedonis, kata guru besar UII Yogyakarta tersebut. Beliau mencontohkan, seperti pamer foto di luar negeri (Niagara, Perbatasan Amerika Serikat dan Kanada) atau pamer barang mewah, seperti jam tangan mahal, seharga 160 juta. Menurut beliau itu sama sekali tidak ada gunanya, dengan gelar akademik yang disandangnya. Flexing juga diartikan suka pamer harta, jabatan, atau lainnya. Flexing juga bermakna, kebiasaan seseorang yang suka memamerkan melalui media sosial, baik itu penampilan, koleksi barang / benda. Sifat flexing ini, dapat merusak kehidupan dan biasanya cenderung pada hal-hal yang bersifat materialistis dan kamuflase. Seorang intelektual, lebih-lebih seorang profesor harus memilki otak yang cerdas tetapi juga wajib memilki moral yang bagus, tandas tokoh nasional dari Madura ini. Seorang profesor akan akan ditanya, apa prestasimu, apa pengabdianmu dan apa manfaatmu? Bukan ditanya soal yang lain.
Prof. Mahfud MD juga menguraikan 2 (dua) hal penting, yaitu: tradisi (budaya) akademik dan norma akademik. Pertama, tradisi atau budaya akademik adalah berjiwa akademis, seperti: kegiatan diskusi, seminar, workshop, lokakarya, simposium, sarasehan, debat, dan lainnya. Juga bermakna kebiasaan membaca, menulis, peningkatan pengetahuan dan wawasan. Menulis yaitu dengan penguatan literasi, baik melalui tulisan atau karya ilmiah lainnya. Tradisi akademik akan menciptakan atmosfer akademik yang kondusif, serta membiasakan diri, bersikap kritis, berani bicara, peduli / peka dan berempati kepada orang lain. Tradisi akademik bisa menciptakan seseorang yang cerdas, memilki gaya komunikasi (softskill) yang bagus, juga daya nalar yang kuat. Tradisi akademik yang didukung dengan kebebasan akademik, akan menumbuhkan jiwa intelektual yang progresif, kritis, dan jauh dari sifat pragmatis. Kedua, norma akademik adalah seperangkat ketentuan, peraturan, dan tata nilai yang harus ditaati oleh seluruh mahasiswa / pelajar, dalam aktivitas akademiknya. Norma akademik bersifat baku. Sebagai contoh untuk mendapatkan ijazah / gelar sarjana, harus kuliah dan lulus S1, untuk magister yaitu S2, dan untuk doktor yaitu S3. Termasuk seorang dosen, jabatan akademik profesor harus melalui proses / tahapan, mulai dari tenaga pengajar, asisten ahli, lektor, lektor kepala dan kemudian guru besar.
Norma akademik itu penting, karena itu aspek formal dalam dunia akademik. Sedangkan tradisi akademik juga sangat penting, karena melatih berjiwa akademis, seperti uraian diatas. Seorang mahasiswa yang kuliah, dengan belajar di kelas dan tugas-tugas akademik di kampus, akan lebih baik, bila dibarengi tradisi atau budaya akademik, seperti: membaca, menulis, berdiskusi, termasuk berorganisasi, serta kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Terakhir, kesimpulan penulis, seorang profesor harus melangit, namun tetap membumi. Melangit artinya ilmunya harus setinggi langit, yaitu: harus pintar, cerdas, berwawasan luas. Sedangkan membumi berarti tetap rendah hati (tawadhu), ilmunya bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis dan dapat memberikan manfaat untuk orang lain dalam skala yang lebih luas
*)Penulis: M. LUTFI KHOIRUDIN, S.Pd.I., M.Pd, Minggu, 23 Februari 2025
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum