Membedah Kenaikan Tarif PBB dan Pajak Omzet Rp15 Juta di Kota Malang

Muliadi
Membedah Kenaikan Tarif PBB dan Pajak Omzet Rp15 Juta di Kota Malang
Membedah Kenaikan Tarif PBB dan Pajak Omzet Rp15 Juta di Kota Malang (Doc. AI)

Wartacakrawala – Pemerintah Kota Malang baru-baru ini menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Perda PDRD). Salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dua poin krusial dari kebijakan ini justru menimbulkan perdebatan publik yang tajam:

  1. Kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari 0,055% menjadi tarif tunggal 0,2%.
  2. Pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10% terhadap pedagang yang memiliki omzet minimal Rp15 juta per bulan.

Di satu sisi, kebijakan ini mungkin tampak rasional dari sudut pandang fiskal. Tapi dalam praktiknya, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat bawah, langkah ini bisa mencederai prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan semangat demokrasi ekonomi yang inklusif.

PBB dan Ketimpangan yang Dilegalkan

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu instrumen fiskal penting dalam pembangunan lokal. Di banyak negara, termasuk Indonesia, PBB menjadi sumber pendanaan untuk infrastruktur dasar, pendidikan, dan layanan sosial. Namun persoalannya terletak pada mekanisme penetapan tarif yang adil.

Dalam sistem sebelumnya, tarif 0,055% relatif mencerminkan pendekatan berkeadilan, di mana kemampuan bayar warga menjadi pertimbangan. Namun kebijakan tarif flat 0,2% tanpa klasifikasi nilai tanah atau bangunan berpotensi menciptakan pajak regresif: mereka yang miskin membayar dengan proporsi penghasilan lebih tinggi dibandingkan yang kaya.

Studi World Bank (2019) menekankan pentingnya prinsip keadilan vertikal dalam sistem pajak properti. Mereka yang memiliki aset lebih tinggi semestinya membayar lebih besar. Tarif tunggal yang kini diterapkan justru menegasikan prinsip ini.

Contoh konkret:

  • Pemilik rumah kecil dengan NJOP Rp150 juta sebelumnya membayar Rp82.500.

Kini, mereka harus membayar Rp300.000 per tahun—naik hampir 4 kali lipat, padahal penghasilan tetap rendah.

Hal ini tidak hanya membebani warga, tapi juga berisiko menurunkan kepatuhan pajak. Penelitian Pusat Studi Keuangan Daerah UGM (2020) menunjukkan bahwa kenaikan PBB yang tak adil dapat menurunkan kesediaan masyarakat untuk membayar, terutama jika tidak disertai subsidi atau insentif khusus bagi masyarakat miskin.

PBJT: Omzet Bukan Cermin Kemampuan Bayar

Pengenaan pajak 10% terhadap pedagang dengan omzet Rp15 juta per bulan dalam skema PBJT juga menimbulkan dilema. Omzet bukanlah laba. Ini adalah kesalahan asumsi yang mendasar.

Mari lihat realitasnya: Seorang penjual makanan kaki lima, dengan omzet Rp500 ribu/hari, bisa mencatat pendapatan Rp15 juta per bulan. Namun, setelah dikurangi bahan baku, sewa tempat, gas, listrik, dan upah tenaga kerja, keuntungannya mungkin hanya sekitar Rp3–4 juta. Maka, jika dikenai pajak 10% dari omzet, pajaknya menjadi 30–50% dari laba. Ini jelas memberatkan dan merugikan pelaku usaha kecil.

Menurut laporan OECD (2022), sistem perpajakan berbasis omzet yang tidak mempertimbangkan margin keuntungan justru mendorong pelaku usaha kecil tetap dalam ekonomi informal. Mereka akan menghindari formalitas karena dinilai memberatkan dan tak seimbang.

Pandangan Para Ahli: Pajak dan Etika Keadilan

Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, dalam The Price of Inequality, menyatakan bahwa pajak tidak boleh hanya dilihat dari sisi penerimaan negara, tetapi juga harus mencerminkan keadilan sosial dan distribusi beban yang proporsional.

Di level nasional, Prof. Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan, menekankan pentingnya konteks lokal dalam penetapan kebijakan pajak daerah. Struktur ekonomi lokal seperti Malang yang masih sangat ditopang oleh UMKM dan sektor informal tidak bisa diberlakukan pajak yang sama seperti kota besar metropolitan.

John Rawls, filsuf politik ternama, juga menyampaikan dalam Theory of Justice bahwa keadilan harus berpihak pada yang paling lemah. Dalam konteks fiskal, ini berarti sistem pajak yang tidak menambah beban kelompok miskin dan rentan.

Tiga Masalah Serius dari Kebijakan Ini

  1. Erosi terhadap Keadilan Sosial
    Penerapan tarif tunggal PBB dan pajak omzet tanpa mempertimbangkan laba riil bertentangan dengan prinsip equity-based taxation. Pasal 23A UUD 1945 menyebut bahwa pajak harus bersifat adil, bukan merata tanpa konteks.
  2. Meningkatkan Sektor Informal dan Evasion
    Kebijakan yang tidak proporsional cenderung mendorong masyarakat keluar dari sistem. Hasilnya: lebih banyak pelaku usaha yang tidak terdaftar, menurunnya kepatuhan pajak, dan berkurangnya potensi PAD yang seharusnya ingin ditingkatkan.
  3. Risiko Ketidakpercayaan dan Resistensi Sosial
    Kebijakan yang dianggap sewenang-wenang dapat memicu ketidakpuasan publik. Rakyat yang merasa tidak didengar, apalagi dibebani saat kondisi ekonomi masih sulit, bisa kehilangan kepercayaan pada institusi pemerintah daerah.

Rekomendasi: Menuju Sistem Pajak yang Adil dan Berkelanjutan

1. PBB Berbasis Progresifitas

Pemerintah perlu mengembalikan skema PBB yang progresif. Pemilik properti dengan NJOP di bawah Rp200 juta harus diberikan insentif, pembebasan, atau pengurangan tarif.

2. PBJT Berbasis Laba Bersih atau Skala Usaha

Pengenaan pajak 10% sebaiknya berdasarkan laba bersih. Jika ini sulit secara teknis, maka diperlukan ambang batas omzet yang lebih tinggi, misalnya Rp50 juta per bulan, agar hanya usaha skala menengah ke atas yang dikenai pajak.

3. Partisipasi Publik dalam Kebijakan Pajak

Proses penyusunan kebijakan fiskal harus partisipatif, berbasis data empiris, dan terbuka terhadap koreksi. Akademisi, asosiasi UMKM, serta tokoh masyarakat perlu dilibatkan dalam forum evaluasi kebijakan daerah.

Penutup: Pajak sebagai Cermin Etika Pemerintahan

Pajak bukan sekadar alat fiskal, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai pemerintahan. Dalam masyarakat yang adil, yang kuat membantu yang lemah, dan bukan sebaliknya. Pajak seharusnya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi masyarakat, bukan malah mematikan usaha kecil dan menyulitkan rakyat kecil.

Kota Malang dikenal sebagai kota cerdas dan berbudaya. Maka, sudah semestinya kebijakan fiskalnya mencerminkan semangat keadilan sosial dan keberpihakan terhadap kelompok rentan.

Sebab pada akhirnya, pertanyaan paling fundamental bukanlah “berapa besar pajak yang bisa ditarik?”, melainkan: “Untuk siapa pembangunan ini kita lakukan?”

*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Publik)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Yayasan 17 Oktober Indonesia Resmi Diperkenalkan dalam Majelis Sholawat Burdah di Kota Malang

Yayasan 17 Oktober Indonesia Resmi Diperkenalkan dalam Majelis Sholawat Burdah di Kota Malang

Related Posts
Total
0
Share