Cakrawala Opini – Beberapa hari terakhir, berbagai media sosial dan pemberitaan ramai membicarakan aksi protes masyarakat yang berujung pada peristiwa tragis. Ketegangan antara warga sipil dan aparat keamanan kembali mengemuka. Terlebih ketika insiden yang melibatkan aparat Brimob, di mana sebuah kendaraan taktis melindas massa aksi hingga menyebabkan korban jiwa, memantik kembali pertanyaan besar: bagaimana hubungan negara, rakyat, dan aparat keamanan dalam dinamika demokrasi modern?
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam sejarah politik global, protes rakyat seringkali menjadi pemantik perubahan besar, baik dalam ranah kebijakan maupun dalam arah perjalanan suatu bangsa. Dari perspektif sosiologi, aksi protes tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan akumulasi dari ketidakpuasan, ketidakadilan, dan frustasi kolektif masyarakat.
Protes Sebagai Gejala Sosial: Perspektif Sosiologi
Sosiologi klasik memberikan banyak penjelasan tentang mengapa protes sosial terjadi. Emile Durkheim, misalnya, menekankan bahwa masyarakat terdiri dari kesadaran kolektif yang mengikat individu dalam norma dan nilai bersama. Ketika norma tersebut terguncang oleh ketidakadilan atau ketimpangan, masyarakat akan mengalami anomie, yakni keadaan tanpa arah. Anomie inilah yang mendorong individu atau kelompok untuk mengekspresikan protes sebagai upaya mengembalikan keseimbangan sosial.
Karl Marx memberikan penekanan berbeda. Menurut Marx, protes sosial adalah konsekuensi logis dari konflik kelas. Ketika struktur ekonomi-politik menciptakan jurang antara penguasa (borjuis) dan rakyat pekerja (proletar), maka konflik adalah keniscayaan. Bagi Marx, aksi massa adalah bentuk perjuangan kelas melawan hegemoni penguasa. Jika kita tarik pada konteks Indonesia, jurang antara rakyat dengan elit politik maupun aparat negara seringkali menjadi pemantik kemarahan.
Sementara itu, Max Weber menyoroti aspek legitimasi kekuasaan. Menurut Weber, kekuasaan yang sah hanya dapat bertahan jika mendapatkan legitimasi dari rakyat. Ketika rakyat merasa tidak lagi diwakili, ketika otoritas negara tidak menjalankan rasionalitas hukum secara adil, maka legitimasi runtuh. Dari sinilah aksi-aksi protes lahir, sebagai bentuk delegitimasi rakyat terhadap rezim yang dianggap gagal.
Teori-teori modern juga memberi tambahan perspektif. Charles Tilly, seorang sosiolog kontemporer, mengemukakan konsep “contentious politics” di mana protes lahir sebagai bentuk interaksi antara masyarakat sipil dan negara. Menurut Tilly, protes bukanlah sekadar luapan emosi, melainkan cara rakyat menegosiasikan posisi politiknya.
Kasus Tunisia: Dari Protes Menjadi Revolusi
Sejarah modern mencatat bagaimana sebuah aksi protes sederhana dapat mengubah wajah politik global. Pada Desember 2010 di Tunisia, seorang pedagang kaki lima bernama Mohamed Bouazizi nekat membakar diri setelah perlakuan aparat yang dianggap sewenang-wenang: dagangannya disita, harga diri diinjak. Tindakan Bouazizi menjadi simbol frustasi rakyat Tunisia terhadap korupsi, kemiskinan, dan represi politik.
Protes yang awalnya lokal segera menyebar ke berbagai kota. Demonstrasi besar-besaran mengguncang rezim Zine El Abidine Ben Ali yang berkuasa lebih dari dua dekade. Dalam hitungan minggu, Ben Ali melarikan diri. Gelombang protes itu menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, Suriah, dan negara-negara Arab lain. Fenomena inilah yang dikenal sebagai Arab Spring, sebuah musim semi politik yang menggulingkan beberapa rezim otoriter sekaligus membuka babak baru, meski penuh tantangan.
Kasus Tunisia memberikan pelajaran bahwa protes sosial bukan hanya sekadar suara marah, melainkan dapat menjadi pemicu runtuhnya rezim yang dianggap tidak lagi sah. Rezim otoriter, meski kuat secara militer, bisa runtuh oleh kekuatan massa jika kehilangan legitimasi.
Brimob dan Tragedi Kemanusiaan di Indonesia
Di Indonesia, protes sosial kerap terjadi dalam berbagai bentuk: demonstrasi buruh menolak upah murah, mahasiswa yang menolak UU bermasalah, atau masyarakat sipil yang menuntut hak dasar. Namun, kasus terbaru yang melibatkan aparat Brimob menjadi alarm keras.
Sebuah video yang beredar luas memperlihatkan kendaraan taktis Brimob melindas massa aksi, mengakibatkan korban jiwa. Peristiwa ini bukan hanya persoalan teknis atau “kecelakaan lapangan,” melainkan refleksi dari hubungan problematis antara negara dan rakyatnya. Aparat yang seharusnya melindungi justru menimbulkan korban.
Dalam kacamata Weberian, insiden ini dapat dibaca sebagai krisis legitimasi. Aparat kehilangan kepercayaan publik ketika dianggap bertindak represif. Sementara dalam perspektif Marxian, kejadian tersebut mencerminkan konflik struktural antara negara (sebagai representasi elit berkuasa) dengan rakyat (yang menuntut keadilan).
Kematian akibat tindakan aparat tidak hanya menambah luka, tetapi juga berpotensi memperluas basis kemarahan rakyat. Kita patut belajar dari Tunisia: satu kejadian kecil bisa memantik kebangkitan besar yang meluas ke berbagai daerah.
Mengapa Protes Bisa Berujung Tragis?
Ada beberapa alasan mengapa protes seringkali berujung tragis:
- Kurangnya ruang dialog – Negara sering abai mendengar aspirasi masyarakat, sehingga protes menjadi jalan terakhir.
- Kultur represif aparat – Aparat keamanan kerap diposisikan sebagai tameng negara, bukan pelindung rakyat. Orientasi ini membuat pendekatan kekerasan lebih dominan dibanding dialog.
- Frustasi kolektif – Ketika kebutuhan dasar rakyat tidak terpenuhi, frustasi terakumulasi. Dalam psikologi massa, emosi kolektif ini mudah meledak menjadi amarah.
- Ketiadaan mekanisme resolusi konflik yang sehat – Proses hukum dan politik sering dianggap tidak adil, sehingga rakyat lebih memilih turun ke jalan.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Tragedi Tunisia pada 2011 dan peristiwa Indonesia hari ini memberikan pesan penting: suara rakyat tidak boleh diremehkan. Negara yang sehat adalah negara yang mampu mengelola konflik secara demokratis, bukan dengan represi.
Ada beberapa langkah yang perlu dipikirkan:
- Reformasi aparat keamanan
Aparat harus kembali diposisikan sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar alat negara. Pendidikan tentang hak asasi manusia, etika penanganan aksi, serta mekanisme akuntabilitas harus diperkuat. - Dialog sebagai kanal utama
Pemerintah wajib menyediakan ruang dialog yang terbuka. Protes adalah bagian dari demokrasi, bukan ancaman. - Pemulihan legitimasi
Legitimasi negara hanya bisa dipulihkan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat. - Menghormati hak-hak sipil
Setiap warga berhak menyuarakan aspirasi tanpa takut intimidasi atau kekerasan. - Belajar dari sejarah
Arab Spring menunjukkan bahwa ketika negara gagal membaca aspirasi rakyat, maka perubahan akan datang dengan cara yang lebih keras, bahkan revolusioner.
Akhir Kata
Protes sosial adalah cermin bahwa ada masalah mendasar dalam relasi negara dan rakyat. Dari perspektif sosiologi, protes adalah mekanisme koreksi sosial. Tunisia menjadi pelajaran bagaimana sebuah aksi bisa memantik revolusi, sementara peristiwa di Indonesia menuntut kita untuk bercermin: apakah kita sedang mengulangi sejarah yang sama?
Negara harus ingat bahwa demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyat percaya pada keadilan. Ketika aparat menjadi alat represi dan rakyat kehilangan ruang ekspresi, maka potensi ledakan sosial akan semakin besar. Sebelum terlambat, pemerintah harus belajar dari Arab Spring: jangan sampai sebuah insiden tragis berubah menjadi gelombang besar yang meluluhlantakkan fondasi negara.