Warta Pendidikan – Belakangan ini, diskursus publik di Indonesia kerap kali dihiasi oleh puja-puji terhadap sistem pendidikan negara-negara Skandinavia seperti Finlandia, Swedia, maupun Norwegia. Finlandia, misalnya, hampir selalu menjadi model yang diagung-agungkan oleh para pengamat pendidikan Indonesia. Capaian mereka dalam aspek kualitas guru, kurikulum yang ramah anak, dan sistem evaluasi non-kognitif seringkali menjadi tolok ukur seolah-olah bisa diimpor begitu saja ke dalam sistem pendidikan kita.
Namun, di sinilah letak kesalahannya: kita terlalu sering membandingkan tanpa memahami konteks yang melatarbelakangi keberhasilan sistem pendidikan di negara-negara tersebut. Alih-alih membangun pondasi yang sesuai dengan karakteristik bangsa dan kondisi struktural kita, kita sibuk membandingkan “hasil akhir” tanpa membedah akar masalah.
Sistem Pendidikan Tidak Berdiri Sendiri
Pendidikan bukanlah sebuah entitas yang terlepas dari ekosistem sosial, ekonomi, dan politik sebuah negara. Sistem pendidikan yang berhasil tidak bisa dipandang hanya dari desain kurikulumnya, metode belajarnya, atau kualitas gurunya, tetapi juga harus dilihat dari sejauh mana negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakatnya: kesehatan, pangan, papan, dan lapangan kerja.
Profesor Andy Green dari University College London dalam bukunya Education and State Formation (2013) menekankan bahwa sistem pendidikan yang kuat adalah hasil dari investasi sosial yang luas, termasuk jaminan kesehatan, kesejahteraan sosial, dan stabilitas ekonomi. Negara-negara Nordik seperti Finlandia memiliki infrastruktur sosial yang sangat kokoh: akses kesehatan universal, jaminan sosial yang kuat, dan distribusi kekayaan yang relatif merata. Dalam konteks seperti inilah pendidikan dapat berkembang secara optimal.
Indonesia: Ketimpangan Sosial sebagai Masalah Utama
Di Indonesia, pendidikan masih menjadi “barang mewah” bagi sebagian masyarakat. Ketimpangan dalam akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara kelompok ekonomi atas dan bawah, hingga antara sekolah negeri dan swasta, menjadi masalah struktural yang akut. Kita belum menyelesaikan persoalan paling mendasar: belum semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan merata.
Sekolah negeri, misalnya, yang idealnya menjadi penopang keadilan sosial, justru seringkali berada pada level “sebatas cukup”. Banyak sekolah negeri yang hanya menjalankan standar minimum: guru datang, siswa hadir, pembelajaran berlangsung sesuai kurikulum, dan selesai. Sementara itu, sekolah swasta premium menawarkan layanan yang jauh lebih unggul: kelas kecil, guru berkualitas, laboratorium lengkap, pendekatan pembelajaran holistik, dan relasi yang kuat dengan dunia industri atau perguruan tinggi ternama.
Orang tua dari kelas menengah ke atas tidak hanya menyekolahkan anaknya di sekolah premium, tetapi juga menambahkannya dengan les privat, pelatihan keterampilan, serta menyediakan gadget canggih dan literatur berbayar untuk menunjang kemampuan anak menghadapi masa depan. Sebaliknya, keluarga dari kelompok ekonomi bawah seringkali hanya bisa memastikan anaknya hadir ke sekolah, tanpa tambahan dukungan lain karena keterbatasan finansial.
Pendidikan Bukan Mesin Penyama yang Ajaib
Mengharapkan pendidikan menjadi solusi tunggal untuk mengentaskan kemiskinan tanpa dibarengi kebijakan sosial-ekonomi yang adil adalah ilusi. Pendidikan memang bisa menjadi jembatan sosial (social mobility), tetapi jembatan ini hanya dapat dilintasi jika pondasinya kokoh.
Menurut laporan Bank Dunia (2020), di Indonesia, anak dari keluarga miskin berpeluang 40% lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan menengah dibandingkan anak dari keluarga kaya. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi telah merembes langsung ke dalam struktur pendidikan kita. Maka, bagaimana mungkin kita berharap bisa menyamai hasil pendidikan Finlandia, ketika anak-anak kita bertumbuh dalam realitas sosial yang timpang?
Fokus pada Kesejahteraan Dulu, Baru Pendidikan Berkualitas
Negara seharusnya terlebih dahulu menjamin kesejahteraan dasar seluruh warganya sebelum memaksakan target-target pendidikan berstandar internasional. Pendidikan tidak akan berkembang jika anak-anak datang ke sekolah dalam keadaan lapar, guru mengajar dalam kondisi cemas akan gaji dan masa depan, dan orang tua tidak mampu mendukung pendidikan anak di luar sekolah.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi secara adil: akses layanan kesehatan universal, bantuan sosial yang efektif, serta pembukaan lapangan kerja yang inklusif. Baru setelah itu kita bisa berbicara tentang transformasi pendidikan yang lebih mendalam.
Dalam laporan OECD Education at a Glance (2023), pengeluaran publik untuk pendidikan di negara-negara Nordik mencapai lebih dari 6% dari PDB mereka, sementara Indonesia masih berada di kisaran 3,5% hingga 4% PDB. Ini mencerminkan prioritas anggaran dan keberpihakan negara terhadap pembangunan manusia.
Menghentikan Dikotomi Negeri vs Swasta
Selain itu, dikotomi antara sekolah negeri dan swasta harus segera diatasi. Selama ini, negara seolah-olah membiarkan sekolah negeri berjalan di jalur standar minimal, sedangkan sekolah swasta dibiarkan melesat dengan biaya tinggi dan fasilitas unggul. Jika kita ingin mencapai pemerataan pendidikan, maka negara harus memastikan bahwa sekolah negeri pun memiliki kualitas dan fasilitas yang tidak kalah dibanding sekolah swasta.
Profesor Diane Ravitch dalam The Death and Life of the Great American School System menyatakan bahwa ketika pemerintah gagal mengelola pendidikan publik secara serius, maka pasar akan mengambil alih, dan pendidikan akan menjadi komoditas. Di Indonesia, hal ini sudah mulai terjadi: sekolah menjadi ladang bisnis, dan hanya yang mampu bayar yang bisa mendapatkan pendidikan berkualitas.
Kembali ke Konteks Kita
Setiap sistem pendidikan harus berangkat dari konteks sosiokultural, ekonomi, dan politiknya sendiri. Indonesia adalah negara besar dengan keragaman luar biasa dan tantangan pembangunan yang masih sangat kompleks. Tugas kita bukan meniru mentah-mentah model Finlandia atau Swedia, tetapi membangun sistem pendidikan yang menjawab kebutuhan anak bangsa dalam konteks Indonesia.
Pendidikan kita harus berbasis pada keadilan sosial, keberpihakan pada kelompok rentan, dan integrasi dengan agenda kesejahteraan nasional. Kita tidak perlu menjadi Finlandia untuk maju. Kita cukup menjadi Indonesia yang tahu arah, adil dalam kebijakan, dan serius dalam membangun masa depan.
Penutup
Maka, cukup sudah kita membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia secara simplistik. Waktunya kita fokus pada pembenahan struktural yang lebih mendasar: mulai dari menjamin kesejahteraan rakyat, memperkuat pendidikan publik, hingga menghapuskan dikotomi pendidikan yang tidak adil. Dengan begitu, pendidikan Indonesia akan tumbuh dari akarnya sendiri — kuat, berdaulat, dan sesuai jati diri bangsa.
*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Pendidikan)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini