Wartacakrawala – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi elektoral Indonesia. MK memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional (Presiden/Wapres, DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota) harus dipisah, tidak lagi digelar secara serentak lima kotak suara dalam satu hari seperti yang terjadi sejak Pemilu 2019. Putusan ini bukan sekadar persoalan teknis penyelenggaraan, tetapi menyentuh aspek fundamental dari rationalitas demokrasi, keseimbangan representasi, dan efektivitas pemerintahan di pusat dan daerah.
Demokrasi yang Kehilangan Fokus
Gagasan pemilu serentak awalnya muncul sebagai solusi normatif dari MK sendiri pada 2014 (Putusan No. 14/PUU-XI/2013), dengan semangat mengefisienkan biaya demokrasi, menyinkronkan legitimasi politik antara eksekutif dan legislatif, serta mengurangi manipulasi pemilih. Namun, kenyataan di lapangan sejak 2019 dan 2024 justru menunjukkan efek sebaliknya. Beban administratif dan logistik yang luar biasa, kelelahan pemilih, bahkan jatuhnya korban jiwa di kalangan petugas KPPS, adalah sinyal bahwa skema lima kotak suara dalam satu hari terlalu dipaksakan dan tidak manusiawi.
Lebih jauh, pemilu serentak telah menciptakan semacam “tsunami politik” yang membanjiri publik dengan begitu banyak informasi, figur, partai, dan isu dalam satu waktu. Ini menyebabkan proses seleksi publik menjadi dangkal, berbasis popularitas semu, dan terlampau administratif. Publik kehilangan fokus dalam menentukan pilihan yang berdampak strategis bagi masa depan bangsa.
Pemisahan Sebagai Solusi Rasional
Putusan terbaru MK dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah membuka jalan bagi format demokrasi yang lebih rasional, terfokus, dan terukur. Dalam kerangka ini, pemilih tidak perlu menghadapi lima keputusan politik sekaligus. Mereka dapat fokus terlebih dahulu pada visi kebangsaan dan program nasional saat memilih Presiden dan DPR, lalu beberapa tahun kemudian menyaring calon pemimpin dan wakil rakyat daerah secara lebih cermat.
Logika ini selaras dengan theory of deliberative democracy yang dikemukakan Habermas dan Fishkin, bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh tingkat partisipasi publik yang rasional, bukan hanya kuantitasnya. Pemisahan pemilu memberi waktu dan ruang deliberasi yang lebih sehat antara elite dan konstituen, antara pusat dan daerah.
Potensi Penguatan Pemerintahan Daerah
Salah satu keunggulan terbesar dari model ini adalah peluang untuk menyinkronkan antara kepala daerah dan DPRD lokal yang lahir dari pemilu yang sama. Selama ini, sering kali terjadi disharmoni antara kepala daerah dan legislatif lokal akibat “mismatch elektoral” yang menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan daerah.
Dengan pemilu lokal tersendiri, pembangunan daerah bisa dirancang lebih berkelanjutan dan selaras. Pilkada tidak lagi menjadi ekor politik pusat, tetapi benar-benar menjadi ekspresi kedaulatan lokal. Di sinilah makna desentralisasi demokrasi menemukan bentuknya yang sejati.
Tantangan Transisi dan Revisi Hukum
Meski demikian, tantangan besar akan hadir dalam masa transisi. DPR dan pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, menentukan batas waktu pemisahan, serta menyusun skenario perpanjangan masa jabatan kepala daerah atau pengangkatan penjabat.
Jangan sampai putusan ini menimbulkan kekacauan baru akibat lambannya regulasi. Idealnya, model baru ini mulai berjalan pada Pemilu 2029 dengan jadwal pemilu nasional pada Februari, lalu pemilu daerah pada 2031. Artinya, jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024 harus diisi oleh penjabat selama 2 tahun lebih. Ini berpotensi membuka ruang praktik transaksional dan mengurangi akuntabilitas publik jika tidak dikelola secara transparan dan adil.
Catatan Akhir
Putusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah adalah langkah maju dalam demokrasi kita. Ia menunjukkan bahwa sistem yang semula dipuja karena “efisiensi” bisa dievaluasi dan diubah demi keselamatan publik, rasionalitas pemilih, serta efektivitas pemerintahan.
Namun putusan ini bukan akhir, melainkan awal dari tugas besar negara: menyusun ulang arsitektur pemilu, membangun literasi demokrasi yang lebih tajam, dan memastikan bahwa dalam setiap bilik suara, rakyat benar-benar memiliki waktu, ruang, dan daya untuk memilih dengan nalar, bukan sekadar ikut gelombang.
Dengan ini, demokrasi Indonesia tidak hanya semakin matang dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi.
*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini