Samford berpendapat bahwa kepastian hukum lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Akhirnya hukum kita adalah seperangkat keyakinan (a collection of beliefs) yang dipaksakan untuk ditaati oleh masyarakat, dan endingnya seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa hukum hanyalah kandang untuk mengendalikan manusia.
Kekuasaan membentengi dirinya dengan hukum, masyarakat dilihatnya sebagai ancaman dalam misi-misi mereka bukan sebagai tujuan dimana kekuasaan itu harus menunjukkan kebijaksanaannya.
Padahal semestinya hukum berkembang bersama masyarakat, dan mengkonfergensi semua produk-produk ilmu pengetahuan yang relevan untuk menempatkan proposisi hukum yang akan ditawarkan sebagai solusi dari masalah konkret yang dihadapi masyarakat.
Dengan demikian hukum akan memiliki kebenaran rasional yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip logis-kritis. Tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya maka hukum tidak akan berdaya guna sebagai hukum melainkan hanya akan berdaya guna sebagai legitimasi dan benteng bagi penguasa.
Keterjebakan kita pada paradigma positivistik menyebabkan perubahan sudut pandang yang nadir pada hukum, yang melihat bahwa hukum adalah perintah dari mereka yang memiliki kedudukan politik lebih tinggi (political superiors) kepada mereka yang berkedudukan politik lebih rendah (lolitical inferior) “Law Is Command of the law giver” hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat.
Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa hakikatnya kita adalah negara kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai alat untuk membentengi dan melindungi kekuasaan, sekaligus sebagai kandang untuk mengendalikan masyarakat.
*)Penulis: Diyaul Hakki, S.H. C.CL., (Chief Executitive Officer of Adhikara Law Office)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim