Melampaui Romantisme Pembebasan: Mengkritisi Teori Paulo Freire dalam Pendidikan Modern

Muliadi

Warta Opini – Gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed telah menjadi bacaan wajib bagi para pendidik kritis di berbagai belahan dunia. Ia menawarkan satu kerangka berpikir: bahwa pendidikan semestinya membebaskan, bukan menindas; memberdayakan, bukan mendikte.

Namun dalam konteks dunia hari ini yang serba cepat, digital, dan sangat kompetitif, ide-ide Freire justru mulai menunjukkan keterbatasannya. Ketika pendidikan terlalu sibuk membebaskan, namun gagal membekali peserta didik dengan kompetensi nyata, maka yang muncul bukan manusia merdeka—tetapi generasi yang gagap menghadapi realitas.

Tulisan ini bukan untuk menihilkan warisan intelektual Freire, tetapi mengajak kita merevisi pemahaman pendidikan kritis dalam terang tantangan zaman baru. Sebab, dalam dunia yang penuh disrupsi dan kompleksitas, pendidikan tidak cukup hanya membentuk kesadaran, tapi juga kemampuan dan keahlian.

1. Romantisme Freire: Pendidikan Sebagai Pembebasan

Freire mengkritik sistem pendidikan konvensional sebagai “banking system”—proses belajar yang pasif, otoriter, dan tidak memberi ruang berpikir kritis. Ia menawarkan pendidikan sebagai “praktik kebebasan”, di mana murid dan guru terlibat dalam dialog setara.

Namun kritik pertama yang muncul adalah: freireanisme sering kali lebih utopis daripada praktis. Dalam kondisi sistem pendidikan massal seperti Indonesia, bagaimana mungkin semua siswa dilibatkan dalam proses dialog reflektif? Guru dihadapkan pada beban administratif, target kurikulum, dan tuntutan evaluasi yang konkret.

Dr. E.D. Hirsch Jr., seorang pakar kurikulum dari AS, menyebut pendekatan Freire sebagai bentuk “romantisme pendidikan”—yakni memuja idealisme kebebasan siswa, namun mengabaikan kebutuhan struktur, kompetensi, dan kurikulum berbasis pengetahuan dasar. Dalam bukunya The Schools We Need, Hirsch menekankan bahwa tanpa content knowledge yang kuat, siswa tidak akan bisa berpikir kritis secara substantif.

2. Dunia Nyata Membutuhkan Keterampilan, Bukan Retorika Kesadaran

Freire mungkin benar bahwa pendidikan harus membangkitkan kesadaran, tapi dunia kerja dan kehidupan nyata tidak hanya menilai seseorang dari kesadarannya. Mereka menilai dari kemampuan menyelesaikan masalah, kolaborasi, keterampilan teknis, dan daya tahan kerja.

Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), keterampilan yang paling dibutuhkan di abad ke-21 adalah:

  • Kognitif tingkat tinggi (critical thinking, problem solving)
  • Teknis digital (data analytics, software fluency)
  • Sosial dan emosional (leadership, adaptability)

Freire tidak pernah secara konkret membahas bagaimana membangun keterampilan-keterampilan ini. Fokusnya pada “penindasan struktural” kadang malah membuat peserta didik merasa menjadi korban sistem, bukan pelaku perubahan. Ini menciptakan semangat resistensi tanpa kesiapan adaptasi.

3. Wirausaha dalam Bingkai Pasar Bukanlah Penindasan

Freire mengkritik kapitalisme sebagai sistem yang menindas, termasuk dalam bentuk pendidikan yang hanya melayani kebutuhan pasar. Namun, pendekatan ini kurang mampu membaca konteks zaman.

Hari ini, jutaan orang justru memilih menjadi wirausaha sebagai bentuk pembebasan dari sistem kerja hierarkis. Mereka menjadi pembuat keputusan, kreator produk, pemilik inovasi—bukan sekadar buruh sistem. Data dari Global Entrepreneurship Monitor (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 50% pelaku usaha muda memulai bisnis karena ingin mandiri dan menciptakan perubahan.

Alih-alih melihat wirausaha sebagai bentuk “penyesuaian terhadap pasar”, banyak justru melihatnya sebagai cara menaklukkan pasar. Maka framing Freire yang melihat pasar sebagai simbol penindasan sudah tidak sepenuhnya relevan.

4. Sekolah Butuh Struktur, Kurikulum Butuh Kerangka

Pendidikan yang sepenuhnya terbuka dan berbasis dialog seperti impian Freire sering kali gagal diimplementasikan dalam skala besar. Kurikulum yang terlalu cair menciptakan kebingungan, guru tidak punya acuan yang jelas, dan hasil belajar menjadi sulit dievaluasi.

Prof. Dylan Wiliam, pakar asesmen dari Inggris, mengatakan: “Tanpa struktur dan kurikulum yang jelas, pendidikan tidak hanya gagal mentransfer pengetahuan, tapi juga gagal memetakan kemajuan belajar.” Ia mengingatkan bahwa kebebasan tanpa kerangka justru menciptakan kekacauan pedagogis.

5. Kesadaran Kritis Harus Dibarengi Kompetensi Praktis

Tidak salah jika pendidikan ingin membentuk manusia kritis. Tapi manusia yang hanya kritis, tapi tidak kompeten, tidak akan banyak membantu masyarakat. Kita butuh generasi yang bisa berpikir kritis sekaligus mampu membuat solusi nyata.

Misalnya, siswa yang sadar akan ketimpangan sosial, tetapi tidak bisa merancang sistem logistik pangan yang efisien—tidak akan banyak berkontribusi. Atau, mahasiswa yang paham teori ketidakadilan global tapi tidak bisa menulis laporan bisnis, akan sulit bertahan di dunia nyata.

Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang melatih empati sekaligus efisiensi, mengajarkan keadilan tanpa mengabaikan keterampilan.

6. Konteks Indonesia: Dari Tertindas ke Tertinggal?

Jika pendidikan kita terus dibiaskan pada retorika kritis Freire, maka ada risiko bahwa siswa Indonesia akan tumbuh sebagai generasi yang banyak bertanya tapi minim bertindak. Mereka akan banyak mengkritik sistem, tapi tidak punya keterampilan untuk memperbaikinya.

Pendidikan harus membekali siswa dengan kemampuan untuk bekerja, mencipta, menulis, membangun sistem, dan menginspirasi perubahan konkret.

Dalam laporan World Economic Forum (2024) disebutkan bahwa “future ready citizens” bukanlah mereka yang hanya paham isu global, tapi mereka yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang melalui kolaborasi, inovasi, dan kemampuan berpikir adaptif.

Penutup: Pendidikan Harus Realistis, Bukan Utopis

Paulo Freire memberikan fondasi penting tentang hakikat pendidikan sebagai pembebasan. Namun kita tidak bisa berhenti di sana. Dunia telah berubah. Kita hidup dalam ekosistem yang menuntut keterampilan digital, komunikasi lintas budaya, dan literasi kompleks.

Kita tidak sedang hidup dalam ruang kelas revolusioner Freire tahun 1970-an. Kita hidup dalam dunia yang terhubung, kompetitif, dan membutuhkan kombinasi antara kesadaran sosial dan kompetensi teknologis.

Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apakah pendidikan membebaskan?”
Tapi: “Apakah pendidikan memampukan?”

Kesimpulan:

Pendidikan masa kini tidak bisa hanya berdiri pada satu kaki: antara membentuk manusia sadar, dan membentuk manusia cakap. Gagasan Freire sangat bernilai sebagai kritik, tetapi tidak cukup sebagai arah kebijakan utama dalam sistem pendidikan modern.

Jika kita ingin anak-anak Indonesia bertumbuh menjadi agen perubahan, maka kita harus membekali mereka dengan kesadaran kritis, keterampilan teknis, dan kemampuan untuk bertahan di dunia nyata. Bukan hanya menyadari ketimpangan, tapi juga tahu bagaimana menyelesaikannya.

*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Pendidikan)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Skin ML Gratis Permanen 2025

Skin ML Gratis Permanen 2025

Related Posts
Total
0
Share