Warta Opini – Pendidikan tidak semata urusan instruksional di ruang kelas, tetapi juga merupakan proses sosio-kultural yang berkelindan dengan sejarah, nilai, dan identitas masyarakat. Di Indonesia, salah satu dinamika yang terus-menerus mewarnai perjalanan sistem pendidikan nasional adalah dikotomi antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal, khususnya pendidikan keagamaan tradisional seperti Madrasah Diniyah (Madin). Dalam praktiknya, dua entitas ini tumbuh dan berkembang secara paralel namun belum tersambung secara sistemik.
Madrasah Diniyah, sebagai warisan sistem pendidikan Islam Nusantara, memiliki posisi penting dalam pembentukan karakter anak-anak bangsa, terutama dalam masyarakat yang memiliki akar tradisi keagamaan kuat seperti Jawa, Madura, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, eksistensinya seringkali luput dari pengakuan sistemik negara, baik dalam kebijakan, pendanaan, maupun pencatatan data peserta didik.
Di sisi lain, sekolah formal yang mengacu pada kurikulum nasional kerap mengalami keterbatasan dalam menginternalisasi nilai-nilai moral dan religius secara mendalam. Hal ini menyebabkan munculnya jurang antara pencapaian kognitif dan pembentukan karakter peserta didik. Integrasi antara sekolah formal dan Madin, dalam hal ini, bukan sekadar wacana normatif, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang harus diinstitusionalisasi dalam sistem pendidikan nasional yang lebih holistik, kontekstual, dan inklusif.
Urgensi Integrasi: Menjembatani Dikotomi yang Terlembaga
Dikotomi antara pendidikan formal dan Madin bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga epistemologis dan ideologis. Sekolah formal berdiri atas kerangka modernitas Barat, dengan struktur kurikulum nasional yang seragam dan berbasis kompetensi. Sementara Madin berakar pada tradisi pesantren, dengan corak pendidikan berbasis kitab kuning, sorogan, bandongan, dan nilai-nilai tasawuf.
Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah berbasis Nahdliyin, telah mengintegrasikan kedua sistem ini secara kultural. Anak-anak pergi ke sekolah pada pagi hingga siang hari, lalu melanjutkan belajar di Madin pada sore dan malam hari. Masyarakat tidak memisahkan keduanya secara tegas—mereka melihat keduanya sebagai dua sisi dari satu mata uang pendidikan: yang satu mencerdaskan, yang lain memanusiakan.
Sayangnya, negara belum memiliki kerangka sistemik untuk mengafirmasi integrasi kultural tersebut. Belum ada regulasi nasional yang secara eksplisit mengatur sinergi antara sekolah dan Madin, baik dari sisi kurikulum, sistem evaluasi, manajemen data, maupun pengakuan terhadap peran guru Madin. Akibatnya, Madin tetap berada di pinggiran sistem pendidikan nasional: tidak memperoleh dana BOS, tidak terhubung ke Dapodik, dan tidak memiliki legalitas kurikulum yang diakui.
Gagasan Integrasi: Menuju Model Pendidikan Nasional yang Kontekstual
Integrasi antara pendidikan formal dan Madin harus dimulai dari pengakuan bahwa keduanya memiliki kontribusi penting yang saling melengkapi. Sekolah menyediakan struktur akademik yang kokoh, sedangkan Madin menawarkan pembentukan karakter, spiritualitas, dan kedekatan emosional dengan tradisi keagamaan lokal.
Gagasan integrasi ini mencakup tiga ranah utama:
1. Integrasi Kurikulum
Kurikulum Madin dapat diadopsi sebagai muatan lokal di sekolah formal, dengan mekanisme pengakuan hasil belajar yang sah secara administratif. Guru Madin dapat diberdayakan untuk mengampu mata pelajaran keagamaan di sekolah dengan sistem pelatihan dan sertifikasi yang sesuai. Demikian pula, sekolah perlu mengakomodasi jadwal pembelajaran Madin dengan menghindari praktik yang membebani peserta didik secara berlebihan.
2. Sistem Satu Data Pendidikan Berbasis NISN/NPSN
Peserta didik Madin perlu dicatat dalam sistem data nasional dengan menggunakan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) yang sama seperti di sekolah formal. Ini akan memungkinkan pelacakan capaian belajar secara menyeluruh dan mendorong integrasi administrasi pendidikan. Dengan satu data, pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam mendukung pendidikan berbasis komunitas.
3. Kebijakan Pendidikan Daerah yang Inklusif
Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam membangun sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik lokal. Melalui Peraturan Daerah (Perda), integrasi Madin dan sekolah dapat dilembagakan, baik dari aspek pendanaan, kelembagaan, hingga insentif bagi para guru Madin. Kebijakan daerah ini dapat menjadi pilot project untuk formulasi kebijakan nasional yang lebih inklusif.
Kontribusi Terhadap Pendidikan Karakter dan Moderasi Beragama
Salah satu argumen paling kuat dalam mendorong integrasi ini adalah urgensi pendidikan karakter dan moderasi beragama. Di tengah menguatnya radikalisme, intoleransi, serta degradasi moral di kalangan generasi muda, Madin memainkan peran penting sebagai penyeimbang spiritual dan moral. Nilai-nilai seperti tawadhu’, ikhlas, hormat pada orang tua dan guru, serta cinta tanah air diajarkan secara intensif di Madin dalam bentuk yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar indikator akademik.
Integrasi Madin ke dalam sistem pendidikan nasional bukan berarti menjadikan Madin subordinat terhadap sekolah, melainkan pengakuan terhadap peran strategisnya dalam membentuk peserta didik yang utuh: cerdas secara intelektual, dan luhur secara moral. Konsep ini juga sejalan dengan arah kebijakan nasional yang mengedepankan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka.
Menimbang Kebijakan Multilevel dan Pendekatan Lokal
Dalam teori multilevel governance, sistem pendidikan tidak bisa hanya digerakkan oleh pemerintah pusat. Dibutuhkan sinergi antara pusat, daerah, dan masyarakat dalam membangun sistem yang adaptif terhadap kebutuhan lokal. Oleh karena itu, integrasi Madin dan sekolah harus diposisikan dalam kerangka kebijakan berbasis komunitas (community-based education), yang menghargai partisipasi masyarakat dan kelembagaan lokal.
Di beberapa daerah seperti Situbondo, Gresik, dan Sumenep, integrasi ini telah berjalan secara praksis meski belum sepenuhnya diformalkan dalam kebijakan. Pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut bahkan telah menggagas pendataan bersama, pelatihan guru Madin, hingga penyusunan modul pembelajaran integratif. Ini menunjukkan bahwa pendekatan lokal dapat menjadi pendorong utama reformasi pendidikan yang berakar.
Penutup: Pendidikan Masa Depan yang Berakar dan Membumi
Integrasi pendidikan formal dan Madrasah Diniyah bukan sekadar proyek birokrasi atau kebijakan teknokratis, melainkan perwujudan dari upaya membangun sistem pendidikan nasional yang benar-benar mencerminkan wajah Indonesia: religius, majemuk, dan berbasis nilai-nilai kearifan lokal. Negara perlu berhenti melihat Madin sebagai pelengkap semata, dan mulai memosisikannya sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban bangsa.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah menyusun desain kebijakan sistemik yang memungkinkan Madin dan sekolah berjalan berdampingan, saling mendukung, dan terintegrasi secara kelembagaan. Dengan demikian, kita tidak hanya mencetak lulusan yang cakap dalam menghadapi tantangan global, tetapi juga kokoh dalam menjaga jati diri bangsa yang beradab, moderat, dan religius.
*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pengamat Kebijakan Publik)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini