Wartacakrawala – Di tengah derasnya arus informasi digital saat ini, kita seringkali lupa bahwa apa yang kita sebut pengetahuan tidaklah netral. Ia bukan sekadar kumpulan fakta objektif yang turun dari langit, melainkan hasil dari proses panjang yang seringkali melibatkan kepentingan-kepentingan tertentu. Di sinilah pentingnya kita memahami relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Siapa yang memproduksi pengetahuan, kerap juga yang mengendalikan kebenaran — bahkan kenyataan itu sendiri.
Pemikir asal Prancis, Michel Foucault, pernah menyatakan bahwa pengetahuan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan. Ia menyebutnya power/knowledge, bahwa kekuasaan bekerja melalui produksi pengetahuan, dan pengetahuan berfungsi untuk menopang kekuasaan. Lihat saja bagaimana ilmu kedokteran, hukum, bahkan pendidikan, bisa menjadi alat “normalisasi” masyarakat: menentukan mana yang sehat dan sakit, benar dan salah, cerdas dan bodoh.
Sekolah, rumah sakit, penjara — semua institusi ini tidak hanya melayani, tetapi juga mengatur dan mengontrol manusia. Kita diajarkan untuk “patuh” bukan karena ancaman senjata, tetapi melalui kurikulum, silabus, aturan, dan nilai. Di sinilah kekuasaan bekerja secara halus, sistemik, dan seringkali tak kita sadari.
Pemikiran Foucault sejalan dengan gagasan Antonio Gramsci, tokoh Marxis dari Italia, yang memperkenalkan konsep hegemoni kultural. Menurut Gramsci, kelas penguasa tidak hanya mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan ekonomi atau politik, tetapi juga lewat dominasi budaya dan ide. Lewat media, pendidikan, bahkan agama, kelas dominan membentuk “kesadaran umum” masyarakat agar nilai-nilai mereka dianggap wajar dan diterima tanpa paksaan.
Kita bisa melihat fenomena ini di sekitar kita. Mengapa kita menganggap pendidikan tertentu lebih bergengsi? Mengapa kita menilai “sukses” dari profesi tertentu? Siapa yang menentukan bahwa satu cara hidup lebih “benar” dari yang lain? Jawabannya seringkali terkait dengan siapa yang memiliki akses terhadap produksi pengetahuan — termasuk media massa, lembaga pendidikan, dan teknologi.
Karl Marx sudah lebih awal mengingatkan bahwa kelas yang menguasai alat produksi ekonomi juga menguasai alat produksi ide. Dalam masyarakat kapitalis, apa yang disebut sebagai “kebenaran” seringkali hanya cerminan dari kepentingan kelas penguasa. Oleh sebab itu, perjuangan kelas tidak hanya terjadi di pabrik atau parlemen, tetapi juga di ruang kelas, ruang redaksi, dan ruang digital.
Max Weber, meski tidak sepenuhnya setuju dengan Marx, juga menunjukkan bahwa kekuasaan modern seringkali tampil dalam wajah birokrasi yang rasional. Kekuasaan menjadi sah karena didasarkan pada keahlian dan pengetahuan teknis. Tapi ironisnya, sistem ini justru menciptakan “sangkar besi” bagi manusia: kita diatur oleh aturan, data, dan angka — bukan lagi oleh nurani.
Di era digital saat ini, relasi kekuasaan dan pengetahuan semakin kompleks. Media sosial dan platform digital telah menjadi medan baru pertarungan wacana. Siapa yang mengendalikan algoritma, bisa menentukan apa yang muncul di layar kita. Siapa yang punya akses terhadap data, bisa mengatur opini publik. Pengetahuan tidak lagi hanya disimpan dalam buku atau kampus, tapi dalam server dan kode yang tidak kita lihat — tetapi mengarahkan hidup kita setiap hari.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, kita perlu bersikap kritis terhadap semua bentuk pengetahuan yang datang pada kita. Kita harus berani bertanya: dari mana asalnya? Untuk kepentingan siapa? Apa dampaknya bagi yang lemah?
Kedua, penting bagi kita — terutama para pendidik, jurnalis, dan pembuat kebijakan — untuk tidak sekadar menjadi “penyalur” pengetahuan, tetapi juga “penguji” dan “penantang” narasi-narasi dominan yang sering tidak adil. Karena seperti kata Foucault, di balik setiap rezim kebenaran, selalu ada relasi kuasa yang bekerja.
Menjadi warga yang sadar akan relasi kekuasaan dan pengetahuan bukanlah tanda pesimisme, tetapi bentuk tanggung jawab dalam demokrasi. Kita tidak bisa membiarkan kebenaran ditentukan hanya oleh mereka yang paling berkuasa. Dalam dunia yang dibanjiri informasi, kemampuan untuk membaca, menimbang, dan mempertanyakan pengetahuan adalah bentuk keberanian baru.
Dan hari ini, keberanian seperti itu sangat kita butuhkan.
*) Penulis: Moh. Badrul Bari, M.Pd
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini