Pendidikan Kaum Tertindas di Era Industri: Relevansi Gagasan Paulo Freire di Tengah Komodifikasi Pendidikan

Muliadi
Pendidikan Kaum Tertindas di Era Industri: Relevansi Gagasan Paulo Freire di Tengah Komodifikasi Pendidikan
Pendidikan Kaum Tertindas di Era Industri: Relevansi Gagasan Paulo Freire di Tengah Komodifikasi Pendidikan (Sumber: AI)

Warta Opini – Di tengah derasnya arus Revolusi Industri 4.0 dan gelombang digitalisasi global, wajah pendidikan kita berubah cepat: diarahkan untuk “menyesuaikan” diri dengan kebutuhan pasar kerja. Istilah seperti link and match, industry-ready graduates, dan kurikulum berbasis kewirausahaan menjadi mantra utama dalam perumusan kebijakan pendidikan saat ini.

Sekilas, paradigma ini tampak modern dan relevan. Namun pertanyaan mendasarnya adalah: apakah pendidikan harus sepenuhnya tunduk pada logika pasar? Apakah fungsi utama sekolah adalah mencetak buruh dan pengusaha demi efisiensi dan produktivitas ekonomi? Di sinilah gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) kembali menggema dan menuntut perenungan ulang atas arah pendidikan kita.

Freire dan Kritik atas Pendidikan sebagai Instrumen Kekuasaan

Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, memandang bahwa sistem pendidikan yang menindas adalah sistem yang menempatkan murid sebagai objek pasif. Ia menyebutnya sebagai banking model of education—guru “menabungkan” pengetahuan ke dalam benak siswa, tanpa membuka ruang dialog dan refleksi kritis.

Dalam model ini, murid tidak dibimbing untuk berpikir, melainkan untuk menghafal dan mematuhi. Pendidikan semacam ini bukan alat pembebasan, melainkan alat penundukan. Seperti yang ditulis Freire:

  • “Education either functions as an instrument which is used to facilitate the integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom.”

Artinya, pendidikan hanya memiliki dua pilihan: menjadi alat pembebasan atau alat pelanggeng ketimpangan sosial.

Logika Pasar: Wajah Baru dari Sistem Penindasan

Saat ini, bentuk penindasan bukan lagi otoritarianisme politik seperti di era Freire, melainkan dominasi pasar. Pendidikan kini tunduk pada logika supply and demand, di mana sekolah-sekolah diharapkan menyesuaikan kurikulum agar selaras dengan dunia industri. Lulusan dianggap sukses bila cepat terserap pasar atau mampu membuka usaha sendiri.

Padahal, menurut Henry Giroux, pendidikan semestinya menjadi arena pembentukan warga negara yang kritis, bukan sekadar alat produksi SDM. Dalam konteks ini, sekolah tidak lagi membebaskan, melainkan menjadi “mesin reproduksi” ideologi pasar. Ini yang disebut Giroux sebagai pedagogy of repression—sebuah sistem pendidikan yang menyiapkan siswa untuk menerima dunia apa adanya, bukan mengubahnya.

Neoliberalisme dan Komodifikasi Pendidikan

Dalam cengkeraman neoliberalisme, pendidikan telah berubah dari hak sosial menjadi komoditas. Biaya pendidikan meningkat, sekolah bersaing dalam branding dan akreditasi, sementara kualitas diukur dari serapan pasar. Prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan, dan pemberdayaan tergeser oleh efisiensi dan profitabilitas.

UNESCO (2022) menegaskan bahwa pendekatan pasar yang terlalu dominan dalam pendidikan dapat memperdalam ketimpangan sosial dan menggerus nilai-nilai kebersamaan. Pendidikan kehilangan ruhnya sebagai jalan emansipasi sosial.

Bahkan dalam pelatihan guru dan penyusunan kurikulum, orientasi utama bukan lagi membentuk manusia yang berpikir kritis dan etis, melainkan manusia yang siap kerja dan patuh.

Kritik terhadap Orientasi Sekolah untuk Kerja

Di Indonesia, tekanan terhadap lembaga pendidikan untuk mencetak lulusan “siap kerja” terlihat sangat kuat. Pemerintah mendorong sinergi dunia usaha dan dunia pendidikan melalui kebijakan seperti SMK 4.0, pendidikan vokasi, dan kurikulum kewirausahaan.

Namun pendekatan ini menyisakan sejumlah kritik:

  1. Pasar kerja bersifat dinamis dan tidak stabil. Pendidikan yang bersifat jangka panjang tidak bisa mengejar perubahan industri yang cepat.
  2. Banyak pekerjaan penting tak diakui pasar. Profesi seperti seniman, peneliti, dan aktivis sosial sering tidak profitable, tetapi vital bagi peradaban.
  3. Setiap individu memiliki bakat dan panggilan hidup berbeda. Tidak semua siswa cocok dijadikan buruh atau pelaku usaha.

Freire percaya bahwa pendidikan bukan untuk “menyesuaikan” manusia dengan sistem, melainkan untuk menyadarkan manusia akan sistem yang timpang, serta memampukan mereka untuk mengubahnya.

Wirausaha: Pembebasan atau Justru Penindasan Baru?

Di tengah tekanan pasar, wirausaha diposisikan sebagai solusi. Siswa didorong menjadi entrepreneur sejak dini. Namun ini pun problematis.

Riset dari ILO dan World Bank menunjukkan bahwa mayoritas pelaku wirausaha di negara berkembang memulai bisnis bukan karena passion, melainkan keterpaksaan: minimnya lapangan kerja formal dan lemahnya perlindungan sosial.

Alih-alih pembebasan, wirausaha menjadi bentuk baru dari individualisasi tanggung jawab sosial. Negara lepas tangan, dan individu dipaksa “berjuang sendiri” dalam sistem yang tidak adil. Inilah bentuk baru penindasan struktural yang dibungkus dengan retorika kemerdekaan.

Solusi Freire: Pendidikan sebagai Kesadaran Kritis

Freire menawarkan pedagogi kritis sebagai alternatif. Dalam pendekatan ini:

  • Guru bukan otoritas absolut, melainkan co-learner;
  • Proses belajar bukan hafalan, melainkan refleksi atas pengalaman nyata;
  • Tujuan pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis (conscientização)—kesadaran untuk memahami realitas sosial dan berani mengubahnya.
  • Pendidikan seharusnya menjadi ruang emansipasi, bukan institusi pelatihan kerja. Sekolah harus mendorong siswa untuk bertanya: Mengapa dunia seperti ini? Siapa yang diuntungkan? Apa yang bisa kita ubah?

Relevansi Gagasan Freire bagi Indonesia Hari Ini

Dalam konteks Indonesia, gagasan Paulo Freire amat relevan. Di tengah desakan komersialisasi pendidikan, pendekatan Merdeka Belajar seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai fleksibilitas administrasi, tetapi sebagai upaya pembebasan berpikir.

Namun jika praktiknya masih terjebak pada kurikulum berbasis pasar dan pengukuran semu (ranking, sertifikasi, daya serap industri), maka “kemerdekaan” itu hanya menjadi jargon kosong.

Reformasi pendidikan Indonesia harus diarahkan pada:

  1. Kurikulum kontekstual yang mengangkat realitas lokal dan kearifan budaya.
  2. Pembelajaran yang menumbuhkan empati sosial dan keberanian moral.
  3. Kebijakan pendidikan yang tidak menjadikan industri sebagai satu-satunya tolok ukur.

Penutup: Pendidikan sebagai Jalan Menuju Pembebasan

Paulo Freire menulis:

  • “The oppressed must be their own example in the struggle for their redemption.”

Artinya, pembebasan tidak bisa diberikan dari luar. Ia harus tumbuh dari kesadaran, dari proses pendidikan yang membangun keberanian untuk berpikir dan bertindak.

Pendidikan yang sejati bukan soal berapa cepat kita bisa bekerja atau seberapa banyak kita menghasilkan profit. Pendidikan adalah soal bagaimana kita memahami realitas, membacanya secara kritis, dan berani memperjuangkan perubahan.

Jika sekolah hanya mencetak buruh dan pengusaha tanpa nurani, maka ia gagal menjalankan fungsi peradabannya. Kini saatnya kita bertanya: Apakah pendidikan kita membebaskan, atau justru menundukkan dalam diam?

*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Publik)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Download Wa Aero Apk Versi Terbaru 2025

Download Wa Aero Apk Versi Terbaru 2025

Next Post
Pemprov NTB Luncurkan Program Gebyar Diskon Pajak Kendaraan Bermotor

Pemprov NTB Luncurkan Program Gebyar Diskon Pajak Kendaraan Bermotor

Total
0
Share