Warta Pendidikan – Setiap tahun ajaran baru, dunia pendidikan kita kembali dihadapkan pada satu fase penuh gejolak: penerimaan murid baru (PMB). Di media sosial, keluhan orang tua, keresahan siswa, hingga polemik seputar zonasi dan afirmasi kembali menyeruak. Sistem yang dimaksudkan sebagai solusi pemerataan pendidikan ini justru melahirkan serangkaian dinamika baru yang tidak kalah kompleks.
Tulisan ini ingin menelaah lebih dalam realitas PMB saat ini: apa masalah utamanya, bagaimana akar strukturalnya, serta ke mana seharusnya arah reformasinya. Dalam narasi yang lebih luas, PMB mencerminkan wajah pendidikan kita—antara upaya keadilan sosial dan praktik ketimpangan yang membandel.
Zonasi: Gagasan Pemerataan yang Diperdebatkan
Sejak diberlakukannya sistem zonasi melalui Permendikbud No. 51 Tahun 2018, tujuan utama pemerintah adalah menghapus dikotomi antara sekolah favorit dan non-favorit. Dengan mendekatkan akses pendidikan ke tempat tinggal, pemerintah ingin mendorong pemerataan mutu sekolah.
Namun implementasinya tidak sesederhana teori.
Menurut riset SMERU Research Institute (2021), sistem zonasi justru menyebabkan kebingungan, manipulasi alamat, dan tekanan psikologis di kalangan orang tua. Ketika kualitas antar sekolah masih timpang, maka prinsip “dekat rumah” menjadi semu. Orang tua tetap ingin memasukkan anaknya ke sekolah dengan reputasi lebih baik—apa pun caranya.
Ketimpangan Kualitas: Masalah Struktural, Bukan Administratif
Masalah inti dari dinamika PMB bukan semata sistem penerimaannya, tetapi kesenjangan kualitas antar satuan pendidikan.
- Di kota besar, sekolah negeri unggulan masih menjadi primadona.
- Di desa atau pinggiran kota, sekolah hanya sekadar tempat belajar, tanpa daya saing.
- Di satu sisi, sekolah swasta premium menawarkan fasilitas kelas dunia, sementara sekolah swasta biasa bertahan dengan dana seadanya.
UNESCO dalam laporan GEM 2023 menekankan bahwa keadilan dalam akses pendidikan tidak cukup hanya dengan membuka pintu, tetapi juga menjamin kualitas yang setara di dalamnya. Zonasi tanpa pemerataan mutu justru memperkuat segregasi sosial.
Afirmasi: Antara Harapan dan Polemik
Dalam PMB saat ini, terdapat jalur afirmasi (kuota bagi siswa dari keluarga tidak mampu, difabel, atau wilayah terpencil). Ini adalah langkah penting untuk menghadirkan keadilan distributif. Namun lagi-lagi, pelaksanaannya sering bermasalah.
Banyak yang mempertanyakan validitas data penerima bantuan (KIP, PKH, DTKS), manipulasi dokumen, hingga stigma bahwa siswa afirmasi dianggap “kelas dua” dalam sistem sekolah.
Prof. Darmaningtyas, pengamat pendidikan nasional, mengingatkan bahwa afirmasi tanpa pembinaan lanjutan justru bisa menciptakan eksklusi sosial di dalam sekolah: anak-anak dari kelompok rentan diterima, tapi tidak didampingi.
Kompetisi Masuk Sekolah: Ruang Main Kelas Menengah
Di luar jalur zonasi dan afirmasi, ada jalur prestasi dan perpindahan tugas orang tua. Di sinilah kompetisi pendidikan menjadi nyata.
- Siswa yang mampu ikut les, bimbel, atau tryout berbayar cenderung lebih unggul.
- Siswa yang berasal dari keluarga miskin tidak hanya kekurangan akses, tetapi juga sumber daya pendukung.
Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang “habitus dan kapital kultural”, menyebut bahwa sekolah cenderung melanggengkan dominasi kelas menengah. Anak-anak dari keluarga berpendidikan dan berkecukupan akan lebih siap, lebih percaya diri, dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan sistem sekolah modern.
Manipulasi dan Ketidakadilan Baru
Salah satu ironi dari sistem PMB adalah banyaknya praktik manipulatif untuk mengejar jalur tertentu:
- Menyewa rumah dekat sekolah unggulan (untuk zonasi)
- Menjadi wali palsu
- Mengatur kepindahan tugas orang tua
- Memanipulasi data afirmasi
Ini semua adalah gejala bahwa sistem pendidikan belum menyentuh aspek etos keadilan yang substantif. Sistem masih mudah dimanipulasi oleh mereka yang paham celah administrasi dan memiliki modal sosial.
Menurut World Bank Education Report (2022), kesenjangan akses pendidikan di negara berkembang tidak cukup ditangani dengan kebijakan berbasis “aturan tunggal nasional”. Dibutuhkan pendekatan kontekstual dan desentralistik yang memberi ruang bagi daerah untuk menyusun strategi PMB yang sesuai dengan tantangan lokal.
Prof. Anita Lie, pakar pendidikan dari Unika Widya Mandala, menekankan bahwa selama pemerintah tidak menyelesaikan akar perbedaan mutu antar sekolah, maka PMB hanya akan menjadi “ritual tahunan” yang penuh drama dan tidak menyentuh esensi.
Menuju Sistem Penerimaan yang Berkeadilan dan Berbasis Mutu
Reformasi PMB tidak cukup hanya melalui revisi peraturan menteri. Kita butuh pergeseran paradigma: dari akses administratif menuju kesetaraan struktural.
1. Pemerataan Kualitas Sekolah Secara Nyata
Bangun infrastruktur, distribusikan guru terbaik ke wilayah marjinal, beri pelatihan yang setara, dan dukung sekolah-sekolah non-unggulan untuk naik kelas.
2. Verifikasi dan Validasi Jalur Afirmasi yang Lebih Ketat
Gunakan teknologi digital dan kolaborasi lintas instansi agar data kemiskinan tidak bisa dimanipulasi. Sertai dengan pendampingan belajar setelah mereka diterima.
3. Evaluasi Periodik Terhadap Efektivitas Zonasi
Setiap daerah memiliki karakteristik geografis dan sosial berbeda. Sistem zonasi harus lentur dan memberi ruang inovasi kebijakan di level daerah.
4. Perkuat Jalur Prestasi Berbasis Skill, Bukan Sekadar Nilai Akademik
Tingkatkan penghargaan terhadap prestasi non-akademik: seni, olahraga, literasi digital, dan kepemimpinan sosial.
Penutup: Refleksi Bagi Semua Pemangku Kepentingan
PMB adalah refleksi dari sistem pendidikan kita: ingin adil, tapi seringkali tersandung ketimpangan. Ingin merata, tapi masih terjebak elitis.
Mari kita sadari bahwa pendidikan bukan sekadar tentang masuk ke sekolah favorit, tapi tentang memberikan kesempatan yang bermakna dan adil bagi setiap anak untuk berkembang, apa pun latar belakangnya.
Ketika anak-anak dari keluarga petani bisa duduk sejajar dengan anak pejabat dalam kelas yang sama, mendapatkan guru yang sama baiknya, dan difasilitasi dengan sarana yang memadai—di sanalah cita-cita pendidikan nasional benar-benar mulai terasa.
*) Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Pendidikan)
**) Baca berita Wartacakrwala di Google News disini