Wartacakrawala – Solo, Di tengah geliat modernisasi kota Solo, terdapat satu titik yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang industri musik Indonesia: Lokananta. Tempat ini bukan sekadar studio rekaman, melainkan pusat dokumentasi sejarah musik nasional yang kini tampil lebih segar untuk menjangkau generasi muda.
Berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Lokananta menyimpan ribuan rekaman musik dari berbagai era — mulai dari masa awal kemerdekaan, masa kejayaan radio nasional, hingga masuknya pengaruh global dalam industri musik Indonesia.
Kak Taufik Firdaus, pemandu tur di Lokananta, mengungkapkan bahwa Lokananta sering disalahpahami sebagai label rekaman pertama di Indonesia. Padahal, fungsi utamanya sejak awal lebih luas dari itu.
“Sebenarnya, Lokananta bukan label rekaman pertama. Ia adalah bagian dari support system negara untuk mendistribusikan siaran dan musik ke seluruh Indonesia,” jelasnya.
Dibangun pada 1956, Lokananta menjadi rumah bagi rekaman pidato kenegaraan, pertunjukan gamelan, hingga lagu-lagu dari musisi legendaris seperti Gesang dan Titiek Puspa. Tak hanya menyimpan rekaman, Lokananta juga menjadi pusat produksi dan distribusi piringan hitam, kaset, dan master tape untuk kebutuhan RRI (Radio Republik Indonesia) di seluruh penjuru negeri.
Dari Vinyl ke Arsip Digital: Sejarah yang Terjaga dan Industri Musik Indonesia
Dalam kunjungan ke galeri-galeri Lokananta, pengunjung bisa melihat langsung koleksi rekaman musik dari berbagai era — mulai dari piringan hitam, kaset pita, hingga arsip digital. Beberapa di antaranya adalah rekaman orisinal dari musisi legendaris Indonesia, seperti Gesang, Titiek Puspa, hingga Koes Plus.
Yang menarik, galeri seni di Lokananta tidak hanya berisi satu ruangan, tetapi terbagi menjadi beberapa ruang tematik. Masing-masing memiliki cerita dan nilai sejarah tersendiri — dari ruang mastering, studio rekaman lama, hingga ruang pengarsipan.
Observasi di galeri Lokananta menunjukkan bagaimana ruang-ruang di dalamnya disusun untuk menelusuri perkembangan rekaman dan distribusi musik nasional. Terdapat galeri seni, ruang arsip musik, ruang gamelan, ruang “Bengawan Solo”, serta studio rekaman yang masih berfungsi hingga kini.
Bagi pengunjung, pengalaman ini menjadi jendela yang membuka wawasan tentang bagaimana musik Indonesia terdokumentasi, direkam, dan disebarluaskan di masa lalu.
Gare, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), mengaku awalnya datang karena menemani temannya ke Solo, namun akhirnya terkesan setelah menjelajahi Lokananta.
“Sebenernya aku ke sini sambil nemenin yang lagi ke Solo. Tapi sebelumnya udah sering lihat Lokananta lewat TikTok dan Instagram Story orang-orang. Ternyata tempatnya sebagus itu, apalagi galeri seninya,” ujarnya.
Sementara itu, Tegar, mahasiswa Universitas Lampung (Unila), menjadikan Lokananta sebagai destinasi utama setelah mendapat rekomendasi dari teman-temannya.
“Salah satu spot yang disarankan teman-teman kalau ke Solo itu Lokananta. Ternyata pas sampai sini, banyak banget sejarah menarik tentang distribusi musik di Indonesia. Nggak nyangka tempatnya sekeren ini,” katanya.
Menyapa Generasi Baru Lewat Cara Baru
Transformasi Lokananta bukan hanya sekadar restorasi bangunan tua. Ia hadir dengan wajah baru yang relevan bagi generasi digital — mengemas sejarah dalam pengalaman interaktif yang mendekatkan anak muda pada akar industri musik Indonesia.
Kak Taufik menyampaikan harapannya agar Lokananta bisa menjadi ruang pembelajaran sekaligus inspirasi.
“Tempat ini bisa jadi gerbang untuk mengenal bagaimana skena musik Indonesia berawal. Banyak sejarah yang selama ini terlupakan, dan Lokananta hadir untuk merawat memori itu,” ujarnya.
Lokananta kini bukan sekadar monumen sejarah — ia adalah pusat budaya yang terus hidup, menyambungkan masa lalu dengan masa kini. Dengan rekaman sebagai inti narasinya, Lokananta membuktikan bahwa musik tak hanya untuk didengar, tapi juga untuk dikenang.
*) Penulis: Puput Novita Sari Universitas Sahid Surakarta
*) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini