Wartacakrawala.com – Di masa pandemi, masa-masa sulit, kelumpuhan dan perubahan yang tak beraturan terjadi di berbagai sektor. Mulai dari sektor ekonomi, sosial, bahkan yang miris saat ini adalah di sektor pendidikan. Pendidikan, khususnya disemua jenjang telah mengalami penurunan atau degradasi kedigdayaan yang drastis, disebabkan hilangnya keoptimalan dalam pembelajaran sekaligus kebijakan kampus yang seringkali mengeluarkan aturan kontroversi atau keputusan yang fenomenal.
Bagaimana tidak, jika kita menelusuri lebih dalam akan banyak permasalahan yang sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar bagi mahasiswa. Di samping juga mengundang rasa kekhawatiran yang serius, di mana ketika kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan kampus terus saja menimbulkan pertanyaan besar sekaligus mengundang kemerosotan arus demokrasi kampus. Ada begitu banyak hal yang menjadi penyebab demokrasi kampus terancam keberadaannya, keterbukaan atau transparansi yang paling menjadi titik penting saat ini. Namun pada dasarnya, eksistensi keterbukaan tidak bergantung pada musim pandemi. Hanya saja, keterbukaan atau transparansi saat ini sangat menonjol penurunannya (diambang maut).
Tranparansi atau keterbukaan menduduki posisi penting ketika lembaga atau negara menganut sistem demokrasi. Berdasarkan sejarah ditemukannya demokrasi oleh penduduk Yunani sejak tahun 4000 SM, tepatnya di bangsa sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan atau kebijakan yang diambil berdasarkan konsensus. Dari sejarah tersebut jelas bahwa demokrasi lahir dari kesepakatan bersama dalam memecahkan suatu problem. Tidak ada sedikitpun celah atau tempat terjadinya kebungkaman.
Demokrasi sendiri hakikatnya meliputi seluruh permasalah ataupun keadaan yang ada. Sesuai dengan pengertiannya bahwa demokrasi secara sederhana adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebaliknya juga di kampus, demokrasi adalah dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa. Hal yang paling mendasar, justru pengertian itulah yang harus dipahami berikut juga diaplikasikan, khususnya kampus. Memberikan uswah yang baik, bagaimana demokrasi di kampus berjalan swasembada yang diharapkan mampu menyuarakan secara lantang kepada mahasiswa.
Misalnya, transparansi dana atau keuangan kampus selama pandemi. Mungkin agak sensitif ketika kita mulai mengorek masalah kemana keuangan kampus mengalir, terutama di masa pandemi ini. Namun jangan pernah dilupakan bahwa seluruh aktivitas kampus harus teruslah dikritisi, dalam artian mengawasi segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja. Hal ini sebagai langkah pasti untuk memastikan keselamatan seluruh mahasiswa dari kebijakan atau keputusan yang sepihak.
Baca juga: Petani Jatinegara Budidayakan Tanaman Porang
Keuangan atau dana tidak jarang menjadi sumber yang seringkali menimbulkan kerancuan di dunia kampus. Bagaimana ketika pihak kampus enggan bersikap terbuka kepada mahasiswa yang berupaya mencari data tentang keuangan tersebut. Seakan, perihal kampus (khususnya keuangan) cukuplah pihak kampus saja yang tahu, mahasiswa tidak boleh ikut campur. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, keterbukaan atau transparansi merupakan dasar yang kuat dalam menganut sistem demokrasi. Demokrasi tak akan berjalan seutuhnya atau tidak dapat dikatakan benar-benar demokrasi ketika transparansi sudah dianggap sebagai sikap yang membahayakan dan dirasa merugikan kampus.
Kadang secara spontan salah satu pihak kampus membenturkan kita pada hal-hal yang lagi-lagi mengundang untuk tertawa dan mempertanyakan lebih lanjut, tentang kebarakahan ilmu misalnya. Yang menjadi persoalan adalah apa hubungannya antara kebarakahan ilmu yang didapat dengan upaya penuntutan hak yang dilakukan mahasiswa. Bukankah mahasiswa berhak mendapatkan segala haknya yang dirasa sudah mulai terkikis. Lalu sejak kapan pihak kampus dapat memastikan bahwa hal tersebut yang dilakukan mahasiswa (penuntutan hak) dapat berakibat pada kebarakahan ilmu. Inilah sebenarnya yang menjadi salah satu alasan tidak logis yang dikeluarkan salah satu pihak kampus. Hal semacam itu lagi-lagi akan berdampak pada eksistensi demokrasi di kampus yang terbilang cukup lucu.
Misalnya juga, transparansi alasan yang diberikan oleh kampus terbilang tidak logis selama pandemi berlangsung. Bukan hal yang kebetulan lagi, bagaimana ketika kampus selalu saja memberikan alasan yang sebenarnya sulit diterima secara logis. Alih-alih berupaya meyakinkan mahasiswa atas segala kebijakan yang dikeluarkan kampus selama pandemi, kadang justru harus terperosok pada hal-hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya. Jadi jangan merasa malu, ketika mahasiswa sendiri berspekulasi sesungguhnya tentang kebijakan kampus yang aneh bin ajaib.
Seperti ancaman akan di D.O, tidak lulus skripsi atau mata kuliah dan yang mengerikan justru menyuruh untuk berhenti saja kuliah di kampus terkait. Aneh bukan, dari itu semua tidak jarang jika sikap yang diambil mahasiswa justru lebih agresif, sebab ketidaklogisan kebijakan kampus sudah terlalu keseringan. Bukannya menjawab secara apa adanya justru malah berakhir dengan pemberian ancaman. Bukankah ini sudah mencerminkan keotoriteran kampus yang sesungguhnya. Secara lantang juga mengindikasikan bahwa demokrasi sudah tiada saat itu juga.
Hal lain yang disodorkan oleh kampus adalah beralasan untuk menunjang sarana prasarana kampus (misal pembangunan gedung). Coba kita pikirkan, di masa pandemi seperti ini kampus mampu melakukan pembangunan gedung yang biayanya bukan main-main. Lalu mengapa ketika mahasiswa menuntut haknya meminta keringanan justru tidak mampu dan bersikap bungkam. Sepatutnya, ketika menyinggung masalah kampus bukan hanya persoalan sarana atau lainnya. Melainkan juga mendengar segala aspirasi yang ingin dicurahkan oleh segenap elemen mahasiswanya. Kiranya, membungkam diri dan menutup diri bukanlah pemecahan problem yang tepat, justru sangat salah. Bukan jalan keluar yang didapat, tetapi masalah baru yang datang bertubi-tubi.
Tanpa disadari, dua hal tersebut (transparansi keuangan dan transparansi alasan yang tidak logis) menjadi penyebab matinya demokrasi di kampus, utamanya pada masa saat ini. Kampus seakan mempunyai segalanya tanpa melibatkan mahasiswanya. Semakin hari kekacauan dan desakan mahasiswa dianggap suara yang tidak penting. Andai kampus itu bisa memahami kembali keberadaan kampus itu sendiri. Yang digadang-gadang sebagai ladang pencetak penerus bangsa atau pemuda yang demokratis. Itu semua sudah gagal, kampus telah mengajarkan diri sebagai kelompok terkuat yang tak boleh sedikitpun digugat atau dikritik.
Matinya demokrasi di kampus bukan hanya malapetaka bagi kampus dan mahasiswa. Tetapi juga kehancuran bagi bangsa, sebab penerus selanjutnya telah gagal paham apa itu demokrasi. Nilai-nilai luhur pendidikan yang bermaksud mencerdaskan segenap rakyat Indonesia, lambat laun mengalami tranformasi yang melenceng. Jika tidak segera dibenahi dan kampus tetap saja bersikap tertutup. Maka sudah bisa dipastikan, kedemokrasian kampus benar-benar mati.
*)Penulis: Mustain Romli, mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim