Selain itu, orientasi pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi menemukan bahwa persetujuan publik memakan waktu dan biaya. Dengan kata lain, tidak produktif dan efisien. Cukup perwakilan baik pemerintah daerah maupun tokoh masyarakat. Sekalipun ada mekanisme untuk mendapatkan persetujuan proyek melalui sosialisasi, prosesnya seringkali dibuat-buat, yang mengakibatkan manipulasi dan pemaksaan karena kontrol dan hambatan ketika orang membuat keputusan. sering. Tak ayal protes dan penolakan pun terjadi saat pembangunan dimulai.
Mekanisme musrenbang sebagai wadah menampung aspirasi dan usulan warga tentang pembangunan juga terkesan formalitas mengingat realisasinya jauh panggang dari api. Berdasarkan studi efektivitas musrenbang yang dilakukan Wiyasti Dwiandini dan Roy Valiant Salomo, FISIP UI di Jakarta Timur tahun 2012, dari 203 usulan masyarakat, hanya 14 usulan (6,89 persen) yang diakomodasi dan dianggarkan menjadi kegiatan. Pemerintah acap kali berkilah bahwa aspirasi warga sesungguhnya telah diakomodasi sebagai masukan dalam mengatasi atau mengurangi risiko dan dampak negatif pembangunan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan melalui instrumen amdal. Yang menjadi masalah, kajian amdal belum sepenuhnya obyektif dan digunakan sebagai dasar menentukan kebijakan untuk menerima dan menolak rencana proyek.
Sebaliknya hasil amdal lebih bersifat dokumen semata untuk kelengkapan administrasi bagi izin pelaksanaan. Karena itu, sekalipun berpotensi mengganggu kelangsungan penghidupan warga sekitar dan mengancam kelestarian lingkungan, tak jarang sebuah rencana pembangunan tetap dilanjutkan karena ada dokumen amdal. Salah satu contoh, proyek reklamasi teluk Jakarta.
Dalam kasus Kendeng, Wadas dan yang lain, ketiadaan persetujuan awal warga pada dasarnya bukan karena persoalan kapasitas aparatur pemerintah yang rendah, melainkan akibat absennya kemauan politik (kehadiran negara). Penetapan sebuah pembangunan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan dunia usaha (korporat) dan politik.
Sebaliknya, berbagai rencana pembangunan yang diharapkan masyarakat dan cukup baik dari sisi teknis serta berdampak positif dari sisi sosial lingkungan, gagal diintegrasikan, dianggarkan dan diwujudkan menjadi kenyataan karena adanya kepentingan ekonomi politik dari elite di tingkat lokal dan nasional. Menghargai hak setiap warga menentukan sendiri setiap rencana pembangunan sangat penting agar dapat dukungan warga dan tak menimbulkan konflik. Warga perlu diberi kesempatan tanpa paksaan untuk menilai bahwa pembangunan yang direncanakan akan bermanfaat dan dapat membawa kemakmuran bagi penghidupannya.
Green Economics Sebagai Strategi Pengelolaan Kekayaan Alam Berkelanjutan
Indonesia sendiri telah menyiapkan green growth program sebagai komitmen mitigasi perubahan iklim dengan berbagai bauran kebijakan, baik secara substansi, kelembagaan, maupun pembiayaan. Dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dengan menggunakan upaya dan resources sendiri atau penurunan 41% apabila mendapatkan dukungan internasional dari skenario business as usual (BAU) pada tahun 2030.
Di samping itu, Indonesia juga telah memasukkan aspek perubahan iklim dalam RPJMN 2020-2024 melalui tiga upaya, yaitu peningkatan kualitas lingkungan hidup; peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim; serta pembangunan rendah karbon. Untuk memenuhi komitmen tersebut, kebutuhan pembiayaannya mencapai Rp3.779 triliun selama tahun 2020-2030, atau sebesar Rp343,6 triliun per tahun. Dalam climate governance di Indonesia, upaya pembangunan berkelanjutan melibatkan banyak kementerian/lembaga. Arm’s-length APBN pada sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan, diarahkan untuk menjadi katalisator pembangunan rendah karbon sekaligus mengakselerasi proses transformasi green economy, termasuk memobilisasi berbagai pihak untuk mengambil peran dalam melakukan komitmen mitigasi climate change.
Dalam paparan konsep, orang sering menganggap Green Economy sama dengan circular economy. Selintas keduanya memang memiliki persamaan, yaitu bagaimana memanfaatkan dan mengelola bumi beserta isinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, keduanya memiliki fokus berbeda dalam mencapai tujuannya. Konsep Green Economy bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengharmonisasikan kesejahteraan masyarakat, dengan kelestarian SDA agar pembangunan ekonomi terus berkelanjutan, sedangkan konsep circular economy lebih mengedepankan pemanfaatan proses daur ulang sehingga barang-barang yang telah diproduksi tidak perlu dibuang, bisa diregenasikan kembali menjadi barang baru.
Pentingnya Pengeloaan Sumber Daya Alam untuk masa depan serta Melihat pentingnya menjaga kelangsungan lingkungan hidup untuk kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi sekarang maupun generasi berikutnya, kegiatan ekonomi yang memproduksi barang dan membuka lapangan kerja tidak boleh mengganggu kelestarian alam. Kita berharap visi pembangunan nasional ke depan harus berbasis Green Economy, untuk menjaga keseimbangan, antara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian alam. Kita berharap pembangunan ekonomi makro yang dijalankan pemerintah sudah mengadopsi prinsip-prinsip green economy dalam implementasi di lapangan.
Prinsip-prinsip Green Economy telah disusun PBB, dalam pertemuan The UN High Level Forum on Sustainable Development di New York, pada 16 Juli 2019 sesuai dengan bagaimana pengelolaan kekayaan alam ke depan. Lima prinsip yang menjadi acuan semua negara yang ingin membangun perekonomiannya berbasis green economy. Prinsip pertama, Green Economy harus mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Kedua Green Economy harus dapat menciptakan kesetaraan, baik dalam satu periode generasi maupun dengan generasi berikutnya. Ketiga green economy harus mampu menjaga, memulihkan, dan berinvestasi di berbagai kegiatan yang berbasis sumber alam. Keempat Green Economy diharapkan mampu mendukung tingkat konsumsi maupun produksi yang berkelanjutan. Kelima pelaksanaan Green Economy harus didukung adanya kelembagaan yang kuat, terintegrasi, dan dapat dipertanggungjawabkan.
*)Penulis: Wijianto, SE.
*)Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*) Opini di Wartcakrawala.com terbuka untuk umum
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim