Demokrasi dalam Bahaya: Saat Populisme Mengalahkan Kompetensi

Muliadi
Demokrasi dalam Bahaya: Saat Populisme Mengalahkan Kompetensi
Demokrasi dalam Bahaya: Saat Populisme Mengalahkan Kompetensi

Warta Politik – Demokrasi telah lama dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling manusiawi. Prinsip dasarnya sederhana: satu orang, satu suara (one person, one vote). Namun di balik kesederhanaan itu, tersembunyi persoalan yang kompleks, terutama ketika pilihan rakyat tidak lagi didasarkan pada kapabilitas dan pengetahuan, tetapi pada popularitas dan pencitraan semata.

Hari ini, kita menyaksikan bagaimana dalam banyak pemilu—baik nasional maupun lokal—figur-figur yang minim kompetensi justru memenangkan mandat publik. Mereka mungkin pandai berselancar di media sosial, punya daya tarik personal, atau lahir dari popularitas instan. Tapi, ketika “kapal” bernama Indonesia harus berlayar di tengah ombak global yang tinggi dan penuh tantangan, pertanyaannya sederhana: apakah kita mempercayakan kemudi pada nakhoda yang benar-benar mampu mengemudi, atau sekadar yang paling banyak disoraki di dermaga?

Demokrasi: Antara Cita dan Realita

Filsuf Yunani Plato dalam The Republic mengemukakan analogi yang sangat relevan. Ia menggambarkan negara sebagai kapal besar, dan masyarakat adalah awaknya. Dalam kondisi ideal, tentu kita ingin kapal ini dipimpin oleh seorang nakhoda sejati—yang terlatih, bijak, dan memahami cuaca serta arah pelayaran. Tapi dalam demokrasi, menurut Plato, risiko yang muncul adalah ketika orang-orang yang tidak memiliki kapasitas justru terpilih karena berhasil merayu awak kapal—bukan karena kemampuan, tapi karena janji dan penampilan.

Pendapat Plato ini barangkali terkesan elitis. Tapi kenyataannya, bahkan dalam demokrasi modern, kegelisahan yang sama muncul. Jason Brennan, dalam bukunya Against Democracy (2016), memperkenalkan istilah “epistokrasi”—pemerintahan oleh mereka yang berpengetahuan. Ia menyoroti bagaimana dalam sistem demokrasi saat ini, suara antara orang yang sangat memahami masalah publik dan orang yang tidak tahu sama sekali dihargai sama. Bagaimana mungkin keputusan publik terbaik bisa muncul dari sistem yang tidak menghargai kapasitas pengetahuan?

Populisme dan Demokrasi Ilusioner

Fenomena ini juga telah dibahas dalam berbagai studi politik. Larry Diamond, pakar demokrasi dari Stanford University, mencatat bahwa demokrasi di abad ke-21 mengalami “reversal” karena invasi populisme—di mana kandidat populer bisa lebih mudah menang meski lemah dalam substansi. Dalam laporan Freedom House 2023, disebutkan bahwa kemunduran demokrasi sering terjadi bukan karena kudeta atau senjata, tetapi lewat pemilu yang dimenangkan oleh populis yang mengabaikan prinsip tata kelola yang baik.

Indonesia, sayangnya, tidak kebal terhadap fenomena ini. Pemilihan kepala daerah hingga presiden kini cenderung menjadi kontestasi popularitas. Rasionalitas politik pemilih pun seringkali tunduk pada sensasi, bukan substansi. Debat publik lebih banyak membahas gestur, gaya bicara, atau latar belakang selebritas, bukan rekam jejak kebijakan atau visi jangka panjang.

Ketika Semua Merasa Bisa Memimpin

Salah satu konsekuensi dari demokrasi liberal adalah ilusi kesetaraan absolut. Semua orang merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin, bahkan tanpa bekal ilmu yang cukup. Dalam masyarakat digital, di mana informasi berseliweran tanpa filter, narasi-narasi populis bisa dengan mudah mengaburkan fakta. Orang yang hanya percaya pada perasaan atau intuisi pribadi kerap lebih nyaring daripada mereka yang berbicara berdasarkan ilmu dan data.

Filsuf Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow menyebut fenomena ini sebagai “ilusi validitas”—kepercayaan berlebihan pada kemampuan diri, padahal sebenarnya miskin dasar rasional. Dalam konteks demokrasi, ini sangat berbahaya. Orang yang miskin ilmu bisa merasa dirinya mampu memimpin hanya karena banyak yang “like” atau “follow”.

Dan inilah titik krusial dari persoalan kita: bagaimana jika mayoritas publik tidak bisa membedakan antara popularitas dan kapasitas?

Jalan Keluar: Demokratisasi Pengetahuan

Solusinya bukan dengan mengganti demokrasi. Bukan pula dengan membungkam suara rakyat. Tapi justru dengan mendidik rakyat agar lebih bijak dalam berdemokrasi. Demokrasi tidak akan berhasil tanpa demos (rakyat) yang tercerahkan.

John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, menegaskan bahwa “demokrasi dan pendidikan adalah dua sisi dari koin yang sama.” Tanpa pendidikan politik yang mencerahkan, demokrasi akan mudah disusupi oleh aktor-aktor manipulatif. Rakyat perlu dididik untuk berpikir kritis, mengenali tipu daya propaganda, dan menilai pemimpin dari substansi, bukan simbol.

Pendidikan politik bukan sekadar kampanye menjelang pemilu. Ia harus menjadi kurikulum hidup yang tertanam sejak usia dini. Sekolah, media, dan lembaga masyarakat sipil harus bersama-sama membentuk masyarakat yang melek politik, bukan hanya melek media sosial.

Reformasi Sistem Rekrutmen Politik

Selain itu, partai politik sebagai “pabrik pemimpin” harus juga menjalani reformasi mendasar. Harus ada sistem kaderisasi yang serius, transparan, dan berbasis meritokrasi. Tidak cukup menjaring tokoh yang viral, partai politik harus melahirkan pemimpin yang visioner, berpengetahuan, dan punya pengalaman lapangan yang relevan.

Jika tidak, demokrasi kita hanya akan terus menghasilkan “pemimpin seleb” yang miskin konsep. Kita tidak bisa berharap kapal besar bernama Indonesia berlayar aman di tengah badai global jika kemudinya dipegang oleh mereka yang bahkan tak bisa membaca peta laut.

Relevansi Saat Ini

Jika kita bercermin pada kondisi saat ini, kita melihat bagaimana demokrasi kita sedang berada dalam simpang jalan. Polarisasi yang tajam, maraknya hoaks politik, komersialisasi pencalonan, dan pudarnya wacana substansial dalam pemilu adalah tanda-tanda kemunduran kualitas demokrasi.

Lebih parah lagi, masyarakat pun mulai kehilangan harapan. Mereka menganggap pemilu hanya soal uang dan hiburan politik. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin demokrasi akan berubah menjadi “teater ilusi” yang justru menjauhkan kita dari tujuan luhur berbangsa dan bernegara.

Penutup: Demokrasi Butuh Pemilih yang Tercerahkan

Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna. Winston Churchill bahkan menyebutnya sebagai “the worst form of government, except all the others.” Tapi demokrasi masih memberi ruang harapan jika dijalankan dengan pemilih yang rasional, partai yang mendidik, dan sistem yang adil.

Kita tak bisa hanya bergantung pada suara terbanyak. Kita harus memastikan bahwa suara itu muncul dari pemahaman, bukan sekadar pengaruh viral. Sebab dalam perjalanan panjang bangsa, bukan jumlah suara yang menyelamatkan kapal, tapi arah yang benar dan nakhoda yang tepat.

Maka, mari kita hentikan ilusi bahwa semua orang bisa memimpin hanya karena merasa mampu. Kepemimpinan adalah seni, ilmu, dan tanggung jawab. Dan demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika rakyatnya tercerahkan, bukan terbius.

*) Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd (Akademisi dan Pemerhati Politik-Pendidikan)
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
5 Aplikasi Menggabungkan Video Terbaik 2025

5 Aplikasi Menggabungkan Video Terbaik 2025

Next Post
5 Aplikasi Pembuat Meme Lucu Terbaik

5 Aplikasi Pembuat Meme Lucu Terbaik

Related Posts
Total
0
Share