Warta Opini – Dalam menghadapi kompleksitas zaman yang terus bergerak cepat, pengelolaan data manusia sejak lahir hingga memasuki dunia kerja bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan strategis. Jean Piaget, dalam teori perkembangannya, menegaskan bahwa pertumbuhan kognitif manusia berjalan bertahap dan sistematis. Maka, dalam konteks negara, seyogianya pertumbuhan individu itu terekam rapi sejak usia dini hingga dewasa, bukan semata demi administrasi, melainkan sebagai fondasi perencanaan sumber daya manusia (SDM) yang adaptif, akurat, dan berkelanjutan.
Sejak anak lahir, sesungguhnya negara telah memiliki titik awal pengumpulan data: akta kelahiran. Dari sini seharusnya rantai data berlanjut ke dalam sistem pendidikan formal maupun nonformal. Setiap proses pembelajaran di tingkat pendidikan dasar (SD), menengah pertama (SMP), hingga menengah atas (SMA/SMK), bukan saja mencatat nilai ujian, tetapi juga mencatat kompetensi, minat, bakat, serta rekam jejak prestasi dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik.
Menurut Anthony Giddens dalam teori structuration-nya, struktur sosial (termasuk pendidikan) membentuk individu, sekaligus individu membentuk struktur itu kembali. Maka, pendidikan tak boleh berjalan dalam ruang hampa yang terpisah dari kebutuhan struktur ekonomi nasional. Justru pendidikan harus menjadi engine utama yang memproduksi individu sesuai arah pembangunan nasional.
Ekosistem Data Terintegrasi
Adanya integrasi antara sekolah, guru, orang tua, peserta didik, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat mutlak diperlukan. Sistem pengumpulan data berbasis Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) atau Nomor Pokok Siswa Nasional (NPSN) hanyalah permulaan. Data itu harus berkembang mencatat seluruh hasil proses pendidikan peserta didik:
- Mata pelajaran apa yang dikuasai
- Keterampilan vokasional apa yang dimiliki
- Prestasi non-akademik yang diraih
- Kompetensi soft-skill dan hard-skill yang berkembang
Dalam konteks ini, pemikiran Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century menjadi relevan. Harari menekankan bahwa data adalah kekuatan baru dalam peradaban manusia modern. Negara yang mampu mengelola data warganya dengan baik akan memiliki kendali besar dalam mengelola masa depan bangsanya.
Bayangkan, ketika siswa lulus SMA/SMK, pemerintah tinggal membuka dashboard big data pendidikan yang telah mencatat seluruh proses pembelajaran mereka sejak dini. Data itu akan menunjukkan berapa jumlah lulusan dengan kompetensi teknik informatika, berapa yang ahli tata boga, berapa yang unggul dalam pertanian presisi, atau berapa yang berpotensi dalam dunia kesehatan dan sains terapan.
Menjawab Tantangan Dunia Industri
Di sinilah korelasi dengan sektor industri mulai konkret. Dunia industri hari ini sangat adaptif dan dinamis, bahkan sering kali lebih cepat bergerak dibanding dunia pendidikan. Seperti dikemukakan Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, dalam konsep The Fourth Industrial Revolution, dunia memasuki era di mana batas antara fisik, digital, dan biologis semakin kabur.
Maka, apabila pemerintah memiliki sistem data pendidikan yang akurat, perencanaan tenaga kerja nasional menjadi berbasis kebutuhan ril, bukan sekadar proyeksi kasar. Pemerintah dapat menyusun regulasi:
- Berapa jumlah lapangan kerja yang harus disiapkan setiap tahun.
- Sektor industri apa yang membutuhkan dukungan lebih besar.
- Pelatihan tambahan apa yang perlu diberikan pada lulusan baru.
- Mengurangi mismatch antara lulusan dan lapangan pekerjaan.
Dengan cara ini, negara tidak hanya memproduksi lulusan, tetapi sekaligus menyiapkan ekosistem kerja yang sesuai. Di sinilah konsep school-to-work transition seperti yang digagas oleh ILO (International Labour Organization) menjadi relevan: adanya jembatan transisi yang jelas antara dunia pendidikan dan dunia kerja berbasis data individual peserta didik.
Kolaborasi Multistakeholder
Ekosistem data pendidikan ini tidak bisa berjalan tanpa kolaborasi multi-pihak. Guru sebagai pelaku utama di lapangan pendidikan perlu dibekali kemampuan pengisian data berbasis kompetensi, bukan sekadar administrasi nilai. Orang tua berperan sebagai pemberi umpan balik terhadap perkembangan minat dan bakat anak. Sekolah menjadi pusat pengelolaan dan validasi data. Pemerintah mengelola data dalam skala nasional. Dunia usaha dan dunia industri (DU/DI) menjadi mitra aktif dalam analisis kebutuhan tenaga kerja.
Seperti ditegaskan Peter Drucker, “What gets measured, gets managed.” Dengan data yang akurat dan lengkap, pengelolaan sumber daya manusia menjadi terarah, efektif, dan adaptif. Bahkan negara seperti Finlandia, Jerman, hingga Singapura, telah lebih dulu menerapkan manajemen pendidikan berbasis data yang terintegrasi untuk merancang arah pembangunan ekonomi mereka.
Menata Masa Depan
Indonesia sesungguhnya memiliki modal dasar yang sangat kuat untuk menerapkan sistem ini. Sistem dapodik (data pokok pendidikan), kartu identitas kependudukan, BPJS Kesehatan, hingga rencana digitalisasi pemerintah adalah simpul-simpul yang tinggal disatukan menjadi satu ekosistem data nasional terintegrasi.
Dengan demikian, pendidikan tidak lagi berjalan dalam ruang kosong, melainkan berkelindan erat dengan perencanaan nasional. Setiap anak yang lahir telah dipersiapkan sejak dini untuk menjadi bagian dari gerak pembangunan bangsa.
Inilah jalan menuju human capital planning yang sejati: negara yang mengelola manusianya secara cerdas, sistematis, dan berkelanjutan.
Referensi Pemikiran yang dirujuk dalam tulisan ini:
- Jean Piaget (Teori Perkembangan Kognitif)
Anthony Giddens (Structuration Theory)
Yuval Noah Harari (21 Lessons for the 21st Century)
Klaus Schwab (The Fourth Industrial Revolution)
Peter Drucker (What gets measured, gets managed)
International Labour Organization (ILO: School to Work Transition) - Oleh: Moh. Badrul Bari, M.Pd
**) Baca berita Wartacakrawala di Google News disini