Refleksi dan Rekonstruksi Nilai Luhur Pemuda pada Era 4.0

Luluk Mukarromah
Moh. Badrul Bari, Akademisi dan Praktisi Media

Wartacakrawala.com – Masa keemasan pergerakan pemuda di Indonesia berawal dari lahirnya organisasi Boedi Oetomo. Organisasi tersebut lahir dengan membawa angin segar, utamanya di bidang sosial ekonomi dan kebudayaan. Seperti yang kita ketahui bersama, para pendiri Boedi Oetomo berlatar belakang mahasiswa di Stovia, Nama Wahidin Soediro Husodo, Suradji, dan Goenawan Mangoen Koesoemo. Mereka mendirikan Boedi Oetomo lebih berorientasi pada penyadaran serta penyebarluasan ilmu pengetahuan terkait kondisi Hindia Belanda saat itu dan memilih untuk tidak berpolitik.

Berdirinya organisasi pemuda pertama tersebut tidak terlepas dari politik etis yang saat itu diterapkan oleh pemerintah Belanda. Politik Etis ini merupakan salah satu kebijakan Belanda yang berangkat dari kritik Eduarde Douwes Dekker dalam sebuah karyanya yang berjudul Max Havelaar. Karya tersebut berbentuk novel yang memaparkan ketimpangan secara telanjang di Hindia Belanda, sehingga mengusik tatanan politik pada parlemen Belanda kala itu. Atas dasar kritik itulah kebijakan politik etis dicetuskan. Selain itu, kebijakan politik lainnya juga dipengaruhi oleh konstelasi sosial budaya dan ekonomi negeri Belanda.

Peran HOS Tjokroaminoto membangun kelompok belajar yang beranggotakan para pemuda, antara lain Soekarno, Mosso, Kartosuwiryo, dan Alimin membawa warna baru dalam perjuangan mencapai kemerdekaan yang dimotori kelompok muda. Semangat perjuangan mencapai kemerdekaan yang dimotori oleh para pemuda terwujudkan dalam gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan ekonomi, seperti lahirnya Serikat Dagang Islam serta surat kabar.

Gerakan pemuda kemudian meluas hingga adanya Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Kongres Pemuda I bertujuan untuk menyatukan perkumpulan para pemuda-pemuda agar lebih sadar mengenai semangat persatuan kebangsaan dan cinta tanah air. Kongres Pemuda II yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1908, telah mengkerucutkan gerakan persatuan itu yang termaktub dalam Sumpah Pemuda. Gerakan-gerakan semacam ini menjadi motor penggerak bagi upaya mencapai kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa lainnya yang dimotori oleh pemuda terjadi pada peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Peristiwa tersebut semakin mempertegas peran pemuda dalam upaya mencapai kemerdekaan. Penculikan Soekarno dan Hatta menuju sebuah rumah di Rengasdengklok dengan tujuan untuk memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Usaha tersebut berbuah manis setelah golongan tua menyepakati pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Penulisan naskah proklamasi oleh Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membuat para pemuda bahagia sebab kemerdekaan yang ditunggu-tunggu telah berada di depan mata.

Setelah kemerdekaan Indonesia dapat terwujud, peran pemuda masih sangat besar dalam mengisi kemerdekaan. Pada pertempuran 10 November di Surabaya kembali membuktikan loyalitas dan sikap nasionalisme pemuda yang begitu tinggi, tercermin dalam aksi heroik mempertahankan kemerdekaan. Peran-peran pemuda kembali terwujud pada hari-hari selanjutnya. Terlepas dari unsur politik kekuasaan 1965, pemuda kembali mempunyai sumbangsih penting bagi republik ini. Seperti yang kita ketahui bersama gerakan pemuda yang dimotori oleh mahasiswa dengan tiga tuntutan rakyatnya berhasil memberikan kritik pada pemerintahan era Bung Karno untuk semakin berbenah hingga pergantian pemimpin pada 1967. Tidak berhenti di situ, sumbangsih pemuda yang berisi kritik dan saran agar pemerintahan lebih baik terjadi kembali pada 1974, yakni protes tentang mayoritas modal asing di Indonesia. Gerakan pemuda dan mahasiswa kembali terulang pada 1997 hingga 1998 yang mengkritik pemerintahan Orde Baru. Pemuda dan mahasiswa menilai pemerintahan Soeharto telah terindikasi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan diprediksi akan lahir sebuah pemerintahan otoriter.

Peran pemuda yang begitu besar bagi lahirnya Republik Indonesia mewajibkan pemangku kebijakan untuk memperhatikan dan melaksanakan pembinaan bagi para pemuda. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2009 pada Bab I pasal 1 telah jelas mendefinisikan bahwa pemuda adalah Warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Pada pasal yang sama dijelaskan berkenaan dengan kepemudaan yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapatitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda. Pembangunan pemuda bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman, betaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepimimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 3).

Peran besar pemuda dan mahasiswa dalam sumbangsihnya saran pada pembangunan negara nampaknya mengalami degradasi. Berdasarkan pada survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center melakukan survei kepada 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar pada 1 September – 10 Oktober 2017 menunjukan data 16,3% pelajar yang setuju negara Islam, 18,6% pelajar memilih ideologi Islam, 18,3 % pelajar yang setuju dengan bentuk negara khilafah dan 23,3 % pelajar menyatakan siap berjihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah (detik.com).

Selain kekwatiran tentang degradasi nasionalisme pada level pelajar perlu diketahui pula anak atau peserta didik yang terjerat masalah hukum. Berdasarkan paparan Arif Budiman, dalam data KPAI, kasus yang berkaitan dengan kekerasan sebanyak 1000 kasus sepanjang Tahun 2016,

1.111 kasus yang berkaitan dengan Pornografi dan Cyber Crime sepanjang tahun 2011-2015. Pada  semester  pertama  tahun  2018,  KPAI  juga  merilis  504  kasus  anak  berhadapan dengan hukum yang tersangkut beberapa jenis pelanggaran hukum, 23,9% mencuri, 17,8% narkoba serta 13,2% asusila (detik.com).

Data lain yang di ungkap oleh KPAI adalah kasus Bullying yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sepanjang 2011 sampai 2019 ada 2.473 kasus Bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan dan di media sosial (KPAI.go.id). Pada awal tahun 2020, Bullying di lingkungan pendidikan kembali terjadi pada seorang siswa SMPN 16 Kota Malang berinisial MS, siswa yang berusia 13 tahun tersebut mengalami kekerasan yang dilakukan oleh teman sebaya hingga menyebabkan jari tangannya terputus (cnnindonesia). Pada tahun 2018, seorang guru di SMAN 1 Torjun, Kabupaten Sampang meninggal dunia setelah dianiaya oleh siswa kelas XII sekolah tersebut (kompas.com).

Berdasarkan data di atas, sudah sangat jelas bahwa cermin generasi bangsa yang akan datang sedemikian itu. Data-data tersebut juga dapat dijadikan rujukan dalam menentukan langkah-langkah strategis demi terwujudnya generasi unggul pada era mendatang. Berdasarkan pada data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2018, tercatat bahwa populasi generasi millenial adalah sekitar 90 juta orang. Kajian menyebut, rata-rata fokus perhatian dari generasi millenial hanya sekitar 12 detik. Bahkan untuk generasi Z (Pasca Millenial ) bisa hanya sekitar 8 detik.

Jumlah penduduk Indonesia usia 20-40 tahun di tahun 2020 diprediksi berjumlah 83 juta jiwa atau 34% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta penduduk. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah geneasi X yang 53 juta jiwa atau 20% ataupun generasi baby boomer yang hanya tinggal 35 juta jiwa atau hanya 13%. Hal ini membuktikan dengan jumlah populasi yang banyak, besar potensi yang dapat dihasilkan oleh generasi millenial atau generasi Y tentunya untuk kemajuan bangsa.

Potensi besar yang dimiliki oleh pemuda akan menjadi masalah sosial yang cukup kompleks manakala tidak mendapatkan perhatian yang serius. Baru-baru ini, yang terjadi pada aksi protes tentang adanya Undang-Undang Omnibus Law melibatkan banyak sekali pemuda dan mahasiswa. Potret kejadian dari berbagai tempat khususnya di Ibukota mencerminkan potensi pemuda yang tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Aksi pengerusakan dan pembakaran fasilitas umum yang diduga melibatkan banyak pemuda mencerminkan degradasi moral yang telah terjun bebas. Mengutip pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Argoyuwono bahwa terdapat

1548 kelompok pelajar yang diamankan dari sejumlah daerah di Indonesia. Terdapat sebanyak 443 mahasiswa di Sulsel, Jakarta, Sultra, Sumut, Papua Barat, dan Kalteng yang diduga melanggar kaidah-kaidah penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu, kepolisian mengamankan 796 orang yang diduga bagian dari kelompok anarko. Mereka diamankan dari berbagai daerah di Indonesia. Semuanya didominasi oleh usia pemuda yakni 20-30 tahun.

Berdasarkan pada kejadian tersebut, kami sangat sepakat dan akan ikut dalam membangun generasi muda yang unggul. Seperti yang kita ketahui, Indonesia tengah membangun sumber daya manusia yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif semata melainkan membangun dan memperkuat karakter. Karakter dapat diartikan sebagai watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan bersumber dari sejumlah nilai, moral, dan norma, yang diyakini kebenarannya yang terwujud dalam hubungan-hubungan yang membangun interaksi antara manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, dan dengan dirinya sendiri. Hubungan-hubungan itulah yang menimbulkan penilaian baik-buruknya karakter seseorang (Akbar, 2011).

Senada dengan hal tersebut karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) sebagai manifestasi dari nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan serta tantangan. Karakter mengandung nilai- nilai yang khas (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku. Karakter merupakan kemampuan individu untuk mengatasi keterbatasan fisiknya dan kemampuannya untuk membaktikan hidupnya pada nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, karakter yang kuat membentuk individu menjadi pelaku perubahan bagi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya (Albertus, 2015).

Menurut Latif (dalam Revolusi Mental, 2014), bagi bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa yaitu adalah Pancasila. Inti nilai-nilai dalam Pancasila adalah upaya untuk menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman dengan cara mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri atau egosentrisme. Melalui penguatan mentalitas gotong-royong berlandaskan semangat Ketuhanan Kemanusiaan, Kebangsaan, Permusyawaratan, dan Keadilan Sosial dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat sebagai tujuan akhir berbangsa dan bernegara. Semangat gotong royong itu diarahkan mengembangkan mentalitas karakter bangsa yang berani dan mandiri dalam bidang ekonomi berdaulat dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Selain penguatan kembali jati diri bangsa dalam sendi kehidupan para pemuda, harus pula disadari bahwa kemampuan lainnya yang tak kalah penting wajib dimiliki oleh pemuda saat ini ialah critical thinking and problem solving, communication, collaboration, dan creative. Kemampuan tersebut yang akan menjadi perhatian bagi segenap penduduk dunia dalam rangka mengembangkan dan memaksimalkan sumber daya manusia di negaranya masing-masing.

Peran pemuda tidak dapat dipandang sebelah mata, epos sejarah telah membuktikan peran pemuda yang begitu besar dalam berdirinya dan perjalanan republik ini. Motor penggerak perubahan oleh mahasiswa dan pemuda di masa lalu seyogyanya menjadi cermin bagi generasi pemuda saat ini. Globalisasi telah bergulir dan arus informasi sudah tidak dapat lagi dibendung. Oleh karenanya, generasi saat ini dituntut untuk berpikir kritis tentang kejadian-kejadian yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemuda saat ini merupakan bagian dari penduduk dunia tidak lagi berbicara kedaerahan semata, melainkan berpikir dan harus mempunyai pandangan global tanpa terbawa arus di dalamnya. Sikap-sikap nasionalis, religius, mandiri, gotong royong, dan integritas seyogyanya termanifestasi dan telah menjadi kepribadian setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian kritik dan saran yang membangun dapat disampaikan secara santun dan tepat pada tempat yang semestinya bukan berada di jalan terlebih dengan sikap anarkis serta merusak fasilitas umum karena hal tersebut bukan merupakan kepribadian dari pemuda Indonesia. Dengan demikian cita-cita terwujudnya generasi emas pada 2045 bukan hanya sebatas isapan jempol semata melainkan wujud nyata dari generasi saat ini yang akan memimpin Republik Indonesia di masa yang akan datang. (*)

*)Penulis: Moh. Badrul Bari, Akademisi dan Praktisi Media

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com

*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum.

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Menteri Serba Bisa, Luhut Tercatat 3 Kali Rangkap Tugas

Next Post

Kominfo Berencana Batasi Usia Anak Pengguna Medsos Jadi 17 Tahun

Related Posts